kievskiy.org

HUT ke-50 HKTI: Alih Fungsi Lahan Makin Marak, Pemerintah Tak Berdaya di Hadapan Pengembang

Petani berjalan di tengah sawah dengan latar belakang Masjid Raya Al Jabbar di Gedebage, Kota Bandung, 16 Maret 2022.
Petani berjalan di tengah sawah dengan latar belakang Masjid Raya Al Jabbar di Gedebage, Kota Bandung, 16 Maret 2022. /Pikiran Rakyat/Yusuf Wijanarko

PIKIRAN RAKYAT - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang lahir pada 27 April 1973 telah banyak memberi sumbangsih yang cukup berharga bagi perjalanan bangsa dan negara. Lahirnya HKTI sebagai organisasi petani dilandasi niat melindungi dan membela petani dari orang-orang yang ingin meminggirkan petani dari pentas pembangunan.

Memasuki hari ulang tahun yang ke-50 pada 27 April 2023, pasti kita sepakat jika HKTI pun mampu melakukan introspeksi atas apa-apa yang telah dikiprahkannya selama ini. Perlu dipertanyakan apakah HKTI telah tampil sebagai pelindung dan pembela petani? Apakah HKTI telah berjuang habis-habisan untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum tani beserta keluarganya?

Sebagai organisasi petani yang sudah banyak merasakan asam dan garam kehidupan, khususnya pembangunan pertanian, tentu telah banyak ide dan gagasan yang disampaikan sehubungan dengan pengelolaan pembangunan pertanian yang lebih berkualitas. Salah satunya dalam hal memperjuangkan peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras demi terciptanya peningkatan kesejahteraan petani.

Baca Juga: Pemerintah Bakal Impor Garam 2,8 Juta Ton, DPR Sebut Bisa Matikan Pencarian Petani Garam

Memperingati HUT HKTI, mari kita bahas masalah-masalah mendesak yang perlu dicarikan segera solusi cerdasnya. Setidaknya ada 2 persoalan besar yang kini cukup menghantui dunia pertanian di negeri ini:

  1. Semakin maraknya alih fungsi lahan dan alih kepemilikan sawah ladang petani
  2. Semakin menurunnya kesuburan lahan sawah petani.

Mari kita cermati fenomena alih fungsi lahan dan alih kepemilikan lahan sawah petani yang terlihat sudah tidak mampu dikendalikan dengan baik. Pemerintah seperti tidak tegas dalam merencanakan tata ruang dan wilayah yang disusunnya. Pemerintah seperti tak berdaya menghadapi pengusaha dan investor yang akan mengembangkan kawasan industri. Tidak sedikit daerah yang rela melepas ruang pertanian untuk dialihfungsikan menjadi perumahan atau permukiman.

Semua ini tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. HKTI sendiri seperti yang kehilangan semangat untuk mengerem alih fungsi dan alih kepemilikan lahan sawah ini. Di negeri ini, alarm krisis lahan pertanian sendiri, sebetulnya telah berkelap-kelip sejak lama. Sinyalnya, sudah bukan kuning lagi, namun sudah memperlihatkan warna kemerah-merahan. Kelap kelip sinyal berwarna merah ini, mestinya mampu menyadarkan segenap komponen bangsa tentang semakin gawatnya alih fungsi lahan dan alih kepemilikannya.

Anehnya, jarang sekali para penentu kebijakan, baik di tingkat pusat atau daerah yang serius mencermatinya. Para penentu kebijakan seperti tidak risau dengan nasib pertanian ke depan dan apa yang bakal terjadi jika kedaulatan petani atas lahan sawah semakin tergerus oleh mereka yang bukan petani.

Baca Juga: Petani di Majalengka Pilih Tanam Jagung Dibanding Padi, Lebih Mudah dan Menguntungkan

Ironis memang, pada saat para pegiat konservasi lingkungan dan lahan berjuang untuk menekan alih fungsi lahan yang membabi-buta, ternyata para penentu kebijakan terlihat seperti yang tidak hirau atas fenomena yang tengah berlangsung. Lebih sedihnya lagi, pemerintah dengan gampang, seolah tanpa beban, merevisi RTRW sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat