kievskiy.org

Perbedaan Waktu Lebaran Akan Terus Terjadi, Mengamalkan Toleransi Tak Semudah Mengucapkannya

Ilustrasi - Pengamat mengamati hilal di menara gedung Fakultas Kedokteran Kampus Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bandung, Jawa Barat, Rabu (22/3/2023).
Ilustrasi - Pengamat mengamati hilal di menara gedung Fakultas Kedokteran Kampus Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bandung, Jawa Barat, Rabu (22/3/2023). /Antara/RAISAN AL FARISI

PIKIRAN RAKYAT - Suasana Lebaran makin memudar. Arus balik mudik Lebaran memasuki masa-masa terakhir. Namun, masih tersisa satu pertanyaan terkait Lebaran: Akankah perbedaan hari Lebaran terjadi lagi pada masa depan? Pasti. Namun, kita harus menyikapinya lebih bijak.

Mari kita kilas balik, andaikan Anda Menteri Agama dan juga astronom handal yang meyakini Lebaran 2023 jatuh pada 21 April 2023, seperti yang diyakini warga Muhammadiyah dan sebagian muslim lainnya, apakah Anda akan memberlakukan keyakinan itu kepada masyarakat luas? Saya ragu.

Memastikan bulan sabit pertama dalam kalender Islam tidak mudah. Anda harus berhadapan dengan muslim dari berbagai kelompok, termasuk kaum Nahdlatul Ulama (NU), yang secara lazim menetapkan hilal berdasarkan rukyat atau penglihatan langsung atau dengan bantuan teleskop, bukan berdasarkan perhitungan matematis. 

Komunitas rukyat dan komunitas hisab ibarat dua budaya berbeda. Jika hilal tak tampak, komunitas rukyat akan melanjutkan puasa esok harinya, sebagai puasa terakhir, menggenapkannya menjadi 30 hari. Namun, bagi penganut hisab, bulan baru tidak harus ditandai dengan kemunculan hilal yang kasat mata. Asalkan perhitungan akurat, hasilnya absah.

Baca Juga: Perbedaan Penetapan Lebaran 2023 Harus Disikapi Bijak, Kita Selalu Bisa Jaga Toleransi

“Bukankah angka tiga derajat itu hanya kesepakatan (para ulama, antarorganisasi Islam atau antarnegara), bukan ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi,” mungkin begitu mereka berkilah. “Toh, penetapan waktu-waktu salat harian yang lima waktu berdasarkan hisab juga, bukan berdasarkan rukyat? Akan berabe, jika kita harus menatap langit setiap kita akan melaksanakan salat," tambah mereka.

Penganut hisab bahkan bisa memberikan analogi lain, “Dengan asumsi bahwa ada keterandalan di antara jam-jam dinding yang ada, yang semuanya valid, bukankah hari baru itu sudah tiba, setelah lewat pukul 12 malam, meski waktu yang telah melewatinya baru 10 detik, tidak harus 12 menit yang setara dengan 3 derajat (dari 360 derajat) dalam menetapkan hilal?”

Argumen demikian lazim dianut budaya konteks rendah, seperti budaya Jerman yang, meminjam pandangan Edward Hall (1976), menganut konsep waktu monokronik (waktu-M) yang serba eksak. Budaya Barat mengasumsikan waktu seperti garis lurus, berjalan dari masa silam ke masa depan, dan menganggapnya sebagai entitas konkret yang bisa dihitung, dipilah-pilah, dihabiskan, dihemat, dipinjam, dibagi, hilang atau dibunuh. Penganutnya menekankan penjadwalan, kesegeraan dan ketepatan waktu.

Seperti disampaikan sejawat saya, Dr. Aang Koswara yang lulusan Universitas Munchen, kaum muslim di Jerman, termasuk kaum Nahdliyin di sana, menggunakan metode hisab alih-alih metode rukyat untuk memastikan hari Lebaran. Terlalu simplistik untuk berasumsi bahwa Muhammadiyah menggunakan hisab dan Nahdlatul Ulama menggunakan rukyat dalam memastikan 1 Syawal, meski masyarakat awam berpikir demikian.

Baca Juga: Beda Penentuan Idul Fitri, Peneliti BRIN Diduga Ancam Bunuh Rektor UMJ

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat