kievskiy.org

Maraknya Politik Uang Bukti Parpol Gagal Lahirkan Kader Berkualitas

Ilustrasi. Politik uang masih menjadi penyakit yang terjadi saban pemilu.
Ilustrasi. Politik uang masih menjadi penyakit yang terjadi saban pemilu. /Pixabay/ Ekoanug

PIKIRAN RAKYAT - Momentum tahun politik 2024 kian dekat, pemilu serentak pada tahun yang sama. Agenda besar ini menjadi pertaruhan bagi siklus demokrasi di Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir, kondisi demokrasi di Indonesia menjadi diskursus tanpa henti yang diperdebatkan di ruang akademis.

Pasang surut demokrasi terjadi karena munculnya beberapa fenomena yang melatarbelakangi situasi semacam itu. Siklus politik tidak terlepas dari timbulnya praktik-praktik yang memperburuk kondisi demokrasi, terutama dalam memilih pemimpin bangsa dan wakil rakyat.

Kontestasi politik 2024 akan menciptakan atmosfer politik kompetitif. Di satu sisi, pertarungan wacana di ruang publik terjadi dengan mengusung gagasan yang ditawarkan kandidat. Di sisi lain, akan menghadirkan kekhawatiran. Pola-pola kecurangan dilakukan oleh politisi dengan menggunakan instrumen pendukung yang dimilikinya.

Pemilu berintegritas menghadirkan figur pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas, kedua hal tersebut menjadi tolok ukur dalam menjawab persoalan publik. Namun, sepanjang pemilu yang terjadi, siklus pemilu menimbulkan kekhawatiran bagi khalayak. Situasi semacam ini terjadi karena munculnya keculasan yang dilakukan oleh politisi dalam mengikuti kontestasi pemilu. Faktor pemicu ini terjadi karena adanya aktivitas transaksional untuk menyakinkan konstituen memilihnya.

Baca Juga: Klarifikasi Jokowi soal Cawe-Cawe Politik di Pemilu 2024

Politik uang menjadi jebakan dalam politik. Selain memberikan uang atau bingkisan kepada konstituen, politisi juga gagal membangun edukasi politik yang mumpuni, sehingga hal ini menciptakan ruang gelap bagi pendewasaan politik di Indonesia. Sikap politisi yang tidak sadar dan takut akan persaingan memakai jalan pintas demi menaruh simpati dan empati masyarakat.

Pola-pola membangun broker politik sebagai basis penggerak konstituen untuk memilihnya karena ketidakmampuan para politisi untuk berinteraksi dengan konstituen, sehingga cara ini dipakai dengan memakai peran tokoh elite setempat, kiai atau orang terpandang di daerahnya. Interaksi ini menjadi hubungan transaksional antara politisi dan konstituen, kondisi dilihat sebagai pola politik perut.

Menurut Bayart (1993), politik perut terjadi ketika aktor politik dari berbagai kalangan mencoba menyuling keuntungan material dari sistem politik yang ada. Pada tahap ini, politik dijalankan dengan mekanisme yang sangat pragmatis, dengan jual beli bantuan, uang tunai, barang-barang material, keuntungan-keuntungan lain sebagai imbalan atas dukungan politik. Perilaku ini tidak luput terjadi dalam dinamika politik kita, sehingga politisi yang terpilih pun tidak tercipta melalui kefasihan dalam menafsirkan gagasan melainkan ketidakmampuan dalam menjaga iklim politik yang baik.

Baca Juga: Politik di Indonesia: Demokrasi dan Monster Bernama Oligarki

Ongkos Politik

Besarnya ongkos yang dikeluarkan oleh politisi untuk maju dalam pemilu tidak sedikit. Tidak heran, mahalnya biaya yang dikeluarkan menghadirkan tindakan koruptif dilakukan oleh para kandidat setelah terpilih. Siklus yang berputar ini melahirkan pola yang tidak pernah surut, melainkan memperpanjang buruknya citra politik yang terjadi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat