kievskiy.org

Politik di Indonesia: Demokrasi dan Monster Bernama Oligarki

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik. /Freepik/rawpixel.com

PIKIRAN RAKYAT - Sejak 1998, Indonesia sudah memilih demokrasi sebagai haluan politiknya. Ciri-ciri penting sistem politik demokratis itu sendiri adalah pemerintahan berdasarkan konstitusi, adanya checks and balances antara eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica); proteksi terhadap hak asasi manusia (HAM); pemilu yang bebas dan diikuti lebih dari satu parpol; pers independen; pengadilan yang tidak memihak (impartial), dan adanya budaya kewargaan (civic culture) yang taat hukum lagi memiliki kebebasan di berbagai bidang.

Sementara itu, tiga sendi demokrasi adalah kebebasan, persaudaraan (persatuan) dan kesetaraan. Tambahan lagi, hakikat demokrasi adalah rasionalitas supaya manusia tidak lagi terjebak dalam mentalitas infantil (kekanakan) yang tidak mandiri dalam berpikir maupun bertingkah laku karena terbelenggu faktor irasional maupun nonrasional, seperti pertimbangan kepentingan sempit kelompok atau golongan, politik identitas yang eksklusif, dan lain sebagainya. Menurut Sunaryo dalam Perihal Keadilan (Gramedia, 2021), manusia dalam sistem politik demokratis adalah ia yang otonom dalam menentukan pilihannya seraya bebas membincangkan segala macam masalah kewargaan di ruang publik yang mensyaratkan kesetaraan dan rasionalitas dalam pertukaran diskursus.

Karena itu, melihat seperempat abad perjalanan reformasi demokrasi kita, Indonesia masih berkutat pada keberhasilan dari segi ciri, bukan dari segi substansi. Pasalnya, secara ciri kita tampak demokratis, tapi keropos dari segi ruh demokrasi. Banyaknya kepala daerah dan pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, masih merajalelanya perilaku lancung oknum birokrasi dan oknum pengusaha di sejumlah daerah, kerap lemahnya negara melawan kepentingan oknum korporasi asing maupun lokal, hanyalah segelintir contoh. Singkat kata, demokrasi kita terbelit oleh sulur-sulur dari monster bernama oligarki.

Baca Juga: Klarifikasi Jokowi soal Cawe-Cawe Politik di Pemilu 2024

Oligarki

Oligarki sendiri memiliki sejumlah definisi (Prisma 1 Vol. 33, 2014). Pertama, Richard Robison dan Vedi Hadiz mendefinisikannya sebagai “sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan”. Kedua, Jeffrey Winters secara singkat mengartikan oligarki sebagai “politik pertahanan kekayaan antar-aktor yang memiliki sumber daya material berlimpah”. Kata kuncinya adalah konsentrasi kekayaan. Artinya, kaum oligark adalah mereka yang memiliki aset kekayaan dan berupaya mempenetrasi sistem politik guna mempertahankan dan memperluas kekayaan tersebut.

Dari definisi inilah kita memahami konteks munculnya fenomena golongan “penguasaha” sebagai persenyawaan antara penguasa dan pengusaha. Modusnya bisa berupa transaksi material antara dua oknum dari golongan tersebut, yang pada gilirannya memiskinkan rakyat dalam bentuk praktik-praktik seperti korupsi, suap, dan lain sebagainya. Atau, berupa masuknya golongan pengusaha ke dalam politik bukan demi kewajiban mulia (noblesse oblige) memperjuangkan kepentingan bersama (bonum communae), melainkan hanya kepentingan sempit mereka.

Kondisi demikian adalah akibat dari situasi transplacement yang menghinggapi Indonesia sejak awal reformasi. Merujuk Samuel Huntington dalam The Third Wave (Oklahoma Press, 1991), transplacement adalah situasi di mana proses perubahan dalam suatu masyarakat tidak menghasilkan perombakan total sebagaimana dicita-citakan, melainkan justru ditunggangi oleh pemain lama yang bersalin rupa menjadi aktor penggerak perubahan. Euforia berlebih akibat tumbangnya penguasa otoriter sebagai musuh bersama membuat elemen masyarakat pro-perubahan larut dalam sentimen emosional sehingga abai menentukan agenda-agenda politik konkret ke depan. Terjadilah kevakuman ruang publik yang kemudian secara cepat direbut oleh kaum oligark yang kini justru menikmati buah reformasi berupa penggelembungan aset mereka.

Baca Juga: Indikator Politik Sebut Elektabilitas Anies Baswedan Turun, Anggota DPR: Dibayar

Karena itu, sudah saatnya masyarakat berupaya memulihkan kembali peranan demokrasi yang rasional guna menggulirkan proses demokratisasi ke arah yang lebih baik. Ada sejumlah cara untuk itu. Pertama, elemen masyarakat pro-perubahan harus merumuskan secara rasional dan tekun sasaran-sasaran bersama sebagai arah gempuran mereka. Jika permufakatan jahat oknum aparat negara dan oknum pengusaha dalam sejumlah proyek di berbagai daerah menjadi isu, misalnya, elemen-elemen masyarakat di daerah masing-masing harus terus menggempur benteng kaum oligark seraya menjalin kepentingan lintas-jaringan (cross network interest) dan blok politik demokratis lebih luas guna memperkuat daya gedor.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat