kievskiy.org

KPK Tidak Perlu Dibubarkan, Hanya Perlu Diganti Pemimpinnya dengan Orang Jujur

Gedung KPK.
Gedung KPK. /Antara/Indrianto Eko Suwarso

PIKIRAN RAKYAT - Pada akhir Agustus 2023, wacana untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membahana di media sosial. Betapa tidak, pihak yang menyatakan hal tersebut adalah Ketua Umum PDIP sekaligus mantan Presiden RI, Megawati Soekarnoputri.

Pernyataan tersebut konon bukan kali pertama. Sebelumnya, dalam acara sosialisasi buku teks utama Pendidikan Pancasila, Megawati pernah meminta Presiden Jokowi untuk membubarkan KPK dengan alasan kinerja lembaga tersebut tidak efektif.

Pemberantasan korupsi di Indonesia punya sejarah panjang. Berbagai undang-undang untuk pemberantasan korupsi telah diciptakan sejak era Orde lama yaitu UU No.24 Prp 1960 yang dilengkapi dengan Tim Pemberantasan Korupsi. Di era Orde Baru muncul UU No.3/1971 yang dilengkapi lembaga Operasi Penertiban (Opstib).

Pada era Reformasi, lahir UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, disusul oleh UU No.31/1999 yang kemudian diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilengkapi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dibubarkan.

Kemudian, muncul Komisi Pemeriksaan Keuangan Penyelenggara Negara. Semua lembaga antikorupsi yang pernah ada tampaknya dibubarkan karena lembaga-lembaga tersebut ditengarai hendak menyentuh para petinggi negeri ini.

 Ketua KPK Firli Bahuri.
Ketua KPK Firli Bahuri.

Baca Juga: KPK Pecat Petugas Rutan yang Lecehkan Istri Tahanan

Sejarah terulang?

Akankah sejarah terulang bagi KPK? Bila ditengok ke belakang, KPK memang selalu digoyang. Goyangan hebat terjadi sejak kepemimpinan Antasari Azhar hingga Abraham Samad karena saat kepemimpinan mereka, KPK telah memperlihatkan taringnya terhadap para petinggi negara dengan menyeret ke pengadilan sejumlah pejabat pemerintah, anggota DPR dan DPRD, polisi, jaksa, dan hakim.

Setelah para ketua KPK digoyang, KPK pun tampaknya dilemahkan melalui revisi terhadap UU No.30/2002 tentang KPK. UU KPK tersebut telah mengalami revisi sebanyak 2 kali, yaitu melalui UU No.10/2015 dan UU No.19/2019.

UU No.19/2019 banyak mendapat perhatian publik karena dianggap telah menyebabkan hilangnya independensi KPK semenjak peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, serta diangkat dan ditetapkannya dewan pengawas oleh presiden.

Selain dianggap tidak efektif oleh Megawati, KPK juga kini mendapat sorotan tajam sebagai lembaga yang dijadikan alat politik oleh penguasa dan juga tebang pilih.

Baca Juga: Mardani Ali Sera Sebut Megwati Soekarnoputri Layak Dipuji, Sejarah KPK Jadi Alasan

Komitmen dunia

Masyarakat dunia melalui Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah memiliki komitmen untuk memerangi korupsi melalui Resolusi PBB No.57/169 tentang United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Menentang Korupsi yang disahkan di Meksiko, Desember 2003.

Lahirnya UNCAC didasari oleh keprihatinan bangsa-bangsa di dunia atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas politik dan keamanan negara karena korupsi dapat melemahkan lembaga-lembaga negara, nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan, juga membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Oleh karena tindak pidana korupsi (Tipikor) dapat berdampak luas, maka Tipikor dinyatakan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).

Dalam preambule UNCAC, selain hal-hal terurai di atas dinyatakan pula bahwa korupsi bukan hanya masalah suatu negara melainkan masalah transnasional yang dapat memengaruhi masyarakat dan ekonomi dunia. Dengan demikian kerja sama internasional menjadi esensial dalam memerangi korupsi. Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui UU No.7/2006. Oleh karena itu republik ini telah terikat secara moral, politis, dan yuridis untuk mengimplementasikan UNCAC secara bertanggung jawab.

Pada penghujung Januari 2023, Transparency International (TI) secara serentak di seluruh dunia meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi sebagai hasil pengukuran tahun 2022. CPI merupakan sebuah indikator untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik mulai dari skala nol (sangat korup) hingga angka tertinggi 100 (sangat bersih).

Sejak CPI diluncurkan pertama kali tahun 1995, Indonesia merupakan salah satu negara yang selalu dipantau situasi korupsinya secara rutin. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang diumumkan TI pada 31 Januari 2023 tersebut, menunjukkan nilai CPI Indonesia adalah 34 dari nilai tertinggi 100, artinya kalau diibaratkan murid sekolah, maka nilai huruf mutu Indonesia sungguh memprihatinkan karena mendapatkan nilai E.

KPK memang sifatnya ad hoc, tetapi didirikannya KPK sebagai lembaga superbody merupakan amanat UNCAC, berhubung kepolisian dan kejaksaan belum berfungsi secara efektif dan efisien. Apabila instansi kepolisian dan kejaksaan sudah bersih dari korupsi dan menjadi lembaga terpercaya, maka KPK layak dibubarkan.

Indonesia terkini, dengan rapot pemberantasan korupsinya masih merah, menyebabkan KPK belum dapat dibubarkan. Ibarat sepatu kekecilan bukan telapak kakinya yang harus dipotong, tapi sepatunya yang harus diganti.

Jadi, dengan kondisi CPI buruk, membubarkan KPK bukanlah pilihan yang tepat karena akan mendapatkan tekanan publik dan sorotan dunia. Mengganti pimpinan KPK dengan orang-orang bermoral, bermutu, jujur, dan adil, serta memperkuat kedudukan KPK melalui revisi UU No.19/2019 sangat penting untuk segera dilakukan. (Melani, Advokat dan Pemerhati Publik)***

Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan pendapat pribadi penulis.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat