kievskiy.org

Oposisi dalam Sistem Demokrasi: Antara Idealisme dan Realitas Pemilu di Indonesia

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Arif Firmansyah

PIKIRAN RAKYAT - Dalam sistem demokrasi, oposisi merupakan satu keniscayaan. Tanpa oposisi, perimbangan kekuasaan tidak akan terwujud, padahal itulah yang menjadi salah satu esensi demokrasi. Dalam tata kelola pemerintahan tidak boleh ada pihak yang terlalu kuat untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Tapi dalam perkembangan kemudian, perimbangan kekuasaan seperti itu sering hanya sebatas terbaca dalam teori. Dalam praktiknya malah terabaikan. Pseudo demokrasi terjadi dalam berbagai bentuk.

Bagi siapa pun yang ambisinya sebatas ingin mengejar kekuasaan, posisi oposisi jelas tidak menarik. Lebih parah lagi, terutama di negeri ini, pengertian oposisi justru direduksi, sehingga pemaknaannya hanya sebatas tidak masuk dalam kabinet. Peran oposisi sebagai pengingat serta pengeritik terhadap kebijakan pemerintahan yang sedang berjalan seolah hilang dari wacana.

Sepanjang sejarahnya, dalam sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia peran oposisi terkesan tidak bunyi. Mungkin para politisi kita traumatis setelah membaca pengalaman pada masa-masa awal sistem demokrasi liberal. Kabinet bisa dijatuhkan hanya dalam hitungan bulan, akibatnya pemerintahan tidak dapat berjalan. Di kemudian hari muncullah varian demokrasi sejenis Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, sebuah kategorisasi untuk memberikan legalitas pada sistem otoriter.

Ingatan ke arah itu muncul kembali setelah mencoba mencermati perkembangan politik belakangan ini, terutama menjelang pemilihan presiden. Apakah negara ini masih berada dalam koridor demokrasi? Langkah-langkah politik yang bermunculan saling kait berkait justru terkesan membingungkan. Sementara wacana kita masih berbangga dengan demokrasi.

Pemahaman opisisi yang negatif

Bisa dipastikan semua itu berawal dari pemahaman tentang oposisi yang negatif. Kecenderungan ke arah itu sudah terbaca ketika MPR melakukan amendemen terhadap UUD 1945. Salah satu pangkal soalnya adalah pembagian wewenang antara MPR, DPR, dan DPD yang tidak saling mengimbangi. Kewenangan sangat besar diberikan kepada DPR, sementara dua lembaga lainnya dipinggirkan. Akumulasi dari akibatnya, sedang kita rasakan saat ini.

Ketika Presiden Joko Widodo dalam periode kedua pemerintahannya membentuk koalisi gemuk, tidak ada yang mengingatkan bahwa langkah seperti itu dapat membuka kemungkinan terpusatnya kekuasaan yang akan mengarah pada langkah-langkah penyelewengan. Mestinya langkah politik seperti itu harus dicegah. Parpol juga tidak layak berbangga sebatas menjadi bagian dari koalisi.

Hiruk Pikuk komposisi pasangan capres/cawapres yang berkembang belakangan ini mungkin bisa dibaca dari perspektif yang lebih sederhana. Benar, bisa dibaca dalam perspektif demokrasi. Mungkin pula pembacaannya berawal dari etika moralitas. Tapi, tampaknya tidak salah juga kalau kita melihatnya dari aspek dinamika parpol. Pendapat analis dari perspektif intelejen, melihat hal itu merupakan imbas dari ketidaksepahaman antara Megawati dan Jokowi. Konflik internal di pucuk pimpinan parpol yang sedang berkuasa ini melebar ibarat air bah sehingga beberapa tanggul demokrasi roboh.

Jika benar seperti itu, mengapa dampaknya sedemikian luas sehingga menimbulkan rasa kecewa di tengah masyarakat? Permainan politik seperti ini mestinya tidak boleh berlanjut. Konflik internal parpol biarlah menjadi masalahnya sendiri.

Yang mengherankan, jika kita berangkat dari pembacaan seperti itu, mengapa parpol lain malah ikut terbawa arus? Mungkin berangkat dari kekecewaan seperti pernah disampaikan Muhaimin Iskandar. Mungkin pula alasannya tak lain adalah ambisi kekuasaan. Malah muncul pula dugaan yang sangat kurang elok, yakni mengharap perlindungan dari pemilik kekuasaan. Semuanya tetap kurang patut jika bangsa ini masih berkomitmen pada makna demokrasi. Arah kritik terutama dialamatkan kepada pihak parpol yang oleh konstitusi diberi kekuasaan sangat besar.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat