kievskiy.org

Problem Kandidasi: Selebritas Jadi Politisi

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Pikiran Rakyat/Waitmonk

PIKIRAN RAKYAT - Pemilu 2024 kembali diramaikan dengan keterlibatan para selebritas dalam jalan politik praktis menuju parlemen dalam siklus lima tahunan. Para calon legislatif selebritas yang kita kenal pastinya selalu menjadi sorotan media massa seperti para aktor dan aktris dari industri perfilman, pemain sinetron, penyanyi, model, pembawa acara, hingga komedian.

Kedudukan selebritas dalam politik sebelum sebagai politisi (celebrity politician) awalnya adalah sebagai pendukung (celebrity endorser) saja yang meramai iklan atau menghibur di panggung-panggung kampanye tujuannya untuk menarik massa bagi calon politisi yang akan dipilih.

Menarik dicermati, benarkah partai politik tertarik mengambil selebritas sebagai cara untuk mendulang suaranya? Tidak bisa disangkal, jika ada banyak alasan parpol tertarik menggunakan selebritas seperti karena popularitas dan daya tarik media, dukungan pendukung dari penggemar atau follower, dan memperluas wilayah atau basis dukungan masyarakat.

Kontestasinya mengalami kenaikan jumlah dari pemilu sebelumnya, sebanyak 65 orang ikut dalam persaingan memperebutkan suara di daerah pilihannya, tak tanggung-tanggung harus berjuang di dapil neraka yang dihuni para pesohor, petahana wakil rakyat, tokoh publik, influencer, musisi, dan para pengusaha. Jumlah kontestasi selebritas tersebut menandai suatu perubahan strategi kandidasi di tubuh partai politik dan model pemenangan Pemilu.

Baca Juga: Mendebat Debat Pilpres 2024, Dominasi Moderator hingga Gaya Penuh Basa-basi Perlu Dikaji Lagi

Kualitas vs Popularitas

Fenomena ketertarikan para selebriti menuju parlemen menuai kritik dari masyarakat dikarenakan keterpilihan selebritas pada Pemilu 2019 bukan terjadi karena faktor kapabilitas, akan tetapi hanya karena segi popularitas semata. Pendapat lainnya jika keterlibatan politisi selebritas ini hanya untuk vote getter saja guna menambah kursi di parlemen bagi partai politik bukan untuk kualitas kerja legislasi.

Faktor elektabilitas bagi partai politik masih menjadi dominasi kuat alasan pemilihan para calegnya, mereka seolah mengabaikan kompetensi di tengah carut marut sorotan kinerja DPR dalam hal produktivitas yang sangat minim tidak sebanding dengan borosnya anggaran yang dikeluarkan. Tak ayal pertimbangan populer lebih menjadi prioritas dan modal utama bagi calegnya bisa terpilih ketimbang para kadernya yang sulit dipilih maka tuntutan kehadiran para pesohor semakin tinggi.

Secara konstitusional tidak ada yang salah ketika banyak partai-partai mengusung para selebriti dalam kontestasi pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) di beberapa daerah. Harus diakui jika masyarakat Indonesia masih mempunyai karakteristik yang rata-rata masih belum mempunyai kesadaran dalam berpolitik dan berpendidikan serta tingkat partisipasi politik yang rendah.

Ahmad Muhammad Sofwan (2018) menyatakan jika indikator utama yang menjadikan seseorang bisa dinyatakan populer dalam dunia politik, yaitu sedang mempunyai posisi penting dalam suatu kekuasaan, aktif di beberapa media massa, serta mempunyai citra positif dengan karakter dan sikapnya yang kuat.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat