kievskiy.org

Senja Kala Demokrasi: Mencari Makna Keadilan di Bumi Pertiwi

Ilustrasi demokrasi.
Ilustrasi demokrasi. /Pexels

PIKIRAN RAKYAT - Meninggalnya mantan Gubernur Papua Lukas Enembe mendapat reaksi dari warga setempat. Mereka menyatakan dukacitanya dengan melakukan kerusuhan. Dalam pandangan mereka Lukas Enembe adalah kepala suku yang layak dihormati.

Lukas Enembe meninggal dalam status tahanan karena diduga melakukan pencurian uang rakyat. Ada yang berpendapat, warga Papua tidak terlalu mempersoalkan kasus seperti itu. Bagi mereka, pencurian uang rakyat yang dilakukan Lukas Enembe tidak seberapa dibandingkan dengan besarnya kekayaan Papua yang telah diambil pemerintah pusat.

Pendapat seperti itu mungkin ada benarnya. Lebih jauhnya, mungkin hal itu pula yang menyebabkan kerusuhan di Papua masih terus terjadi. Persepsi dengan menyebut mereka sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) barangkali perlu dievaluasi agar tidak menimbulkan luka batin yang terus bernanah.

Kebebasan berpendapat

Persoalan berkaitan dengan tata kelola kenegaraan memang akan terus berkelindan. Tapi membiarkan sebuah persoalan berkepanjangan bukanlah sikap yang bijaksana. Di tengah hiruk pikuk demokrasi di tingkat pusat, masalah yang berlarut-larut di Papua seolah berada pada dimensi yang berbeda. Mungkin karena kita terlalu menyederhanakan pengertian demokrasi sebatas kekuasaan berada di tangan rakyat. Kita hampir tidak menyentuh tujuan demokrasi yang lebih hakiki, yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Mungkin kita merasa berhak untuk berargumentasi, bukankah telah cukup banyak program pembangunan yang dilaksanakan di sana? Bukankah kondisi di Papua sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan kondisi di Papua Nugini, tetangganya yang paling dekat? Argumentasi seperti itu memang masuk akal tetapi belum tentu masuk ke hati.

Bahwa demokratisasi bukan sebatas berurusan dengan persoalan fisik, sudah terbukti di beberapa negara. Singapura misalnya. Di negara kecil yang makmur tersebut kebebasan berpendapat masih sangat dibatasi. Tapi warga setempat tidak terlalu mempersoalkannya sepanjang kebutuhan hidup dapat terpenuhi dengan baik. Demikian pula yang terjadi di Arab Saudi. Dalam perspektif lebih jauh adalah apa yang sedang berlangsung di China. Tanpa mewujudkan pengertian demokrasi sebagaimana kita pahami, mereka justru mampu menjadi kekuatan yang mengagumkan. Barangkali itu sebabnya mengapa proses demokratisasi di beberapa negara Arab bisa dikatakan gagal.

Sebagai bangsa yang berambisi ingin berdemokrasi, bagi kita fakta-fakta di atas mesti menjadi bahan pemikiran yang serius. Indonesia saat ini bukanlah Yunani di masa lalu. Bukan pula seolah masyarakat Amerika Serikat atau Eropa Barat yang mana hak-hak sipil menjadi rujukan utama bahkan lebih penting ketimbang norma agama.

Macam ragam adat, kebiasaan, kepercayaan menjadikan bangsa ini rumit tapi justru menarik. Sejak awal para pendiri bangsa menyadari kondisi seperti itu. Tapi dalam perkembangannya kemudian, tidak sedikit yang direduksi. Salah satu alasannya adalah kehendak menjadi bangsa yang maju dan modern. Dalam pengertian seperti itu pemahaman justru disederhanakan. Adat dan modernitas dipertentangkan, padahal mestinya saling melengkapi.

Kita sebenarnya sangat mengharap, siapa pun yang memilih ingin menjadi kandidat pemimpin bangsa memahami kerumitan seperti itu. Yang terkesan selama ini mereka justru memilih untuk mengenakan kacamata kuda. Tidak memperhatikan ke kiri dan ke kanan. Sebatas melihat lurus ke depan karena di sana ada bangsa-bangsa lain yang tatawarnanya sangat gemerlap.

Yang namanya kemajuan, belakangan sangat terfokus pada aspek ekonomi, memang sering menimbulkan pesona yang menakjubkan. Pesona-pesona yang pernah ditawarkan Belanda, Amerika Serikat, belakangan Jepang, Korea dan Cina silih berganti mewarnai persepsi yang kita miliki. Semua itu membuat kita terus melayang-layang, sempat lupa di mana kita berpijak.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat