kievskiy.org

Alih Fungsi Lahan Membabi-Buta, Hak Petani Hidup Sejahtera Harus Jadi Prioritas

Ilustrasi petani.
Ilustrasi petani. /Pixabay/Sasint

PIKIRAN RAKYAT - Petani memiliki hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A UUD 1945 Amandemen IV. Hak tersebut termasuk juga hak untuk mendapatkan kesejahteraan antara lain melalui kepemilikan varietas lokal yang mendapat perlindungan secara hukum sebagai pemulia tanaman.

Sedangkan tugas dan kewajiban utama pemerintah dalam berbagai tingkatan sesuai dengan amanah undang-undang adalah untuk mensejahterakan masyarakat, termasuk di dalamnya para petani yang sekarang ini terpotret dalam suasana hidup cukup memprihatinkan. Salah satunya dengan menghadirkan pelayanan publik yang terjangkau, cepat, efektif, dan efisien.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa sejahtera itu adalah berarti aman sentosa dan makmur. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesejahteraan? Menurut W.J.S Poewodarminto (2015), kesejahteraan merupakan kondisi seseorang dalam keadaan aman, makmur sentosa, selamat dari berbagai macam gangguan masalah atau kesulitan dan lain sebagainya.

Dalam bahasa lain, dapat juga disebutkan, istilah kesejahteraan merupakan kondisi terselesaikannya persoalan lahir bathin manusia. Jika dikaitkan dengan suasana kekinian, bagi petani yang namanya hidup sejahtera, barulah sebatas angan-angan. Fakta yang terjadi, petani umumnya hidup sengsara dan penuh dengan keprihatinan.

Alih fungsi lahan

Petani padi, khususnya yang sering disebut sebagai petani guram merupakan gambaran warga bangsa yang kondisi kehidupannya masih terjerat masalah kemiskinan yang tak berujung pangkal. Lebih sedihnya lagi, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023, jumlah petani gurem selama 10 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.

Hal ini, mengindikasikan lahan pertanian untuk bercocok tanam semakin sempit di berbagai wilayah Indonesia, karena berlangsungnya alih fungsi lahan yang semakin tidak terkendali. Selain itu, kepemilikan petani atas lahan yang dikuasainya semakin menyusut, sehingga bisa disimpulkan kedaulatan petani terhadap lahannya semakin melemah.

Petani gurem atau pertani berlahan sempit dengan rata-rata kepemilikan di bawah 0,5 hektar, sudah sering dibahas dan dicarikan jalan keluar agar mereka dapat terbebas dari jebakan hidup miskin. Sayang, sampai sekarang solusi itu belum ditemukan. Petani gurem tetap mengemuka sebagai potret anak bangsa yang hidup penuh dengan kesusahan dan penderitaan yang berkepanjangan.

Membengkaknya jumlah petani gurem seperti yang dirilis Badan Pusat Statistik dalam 10 tahun belakangan (2013-2023), jelas bukan prestasi yang membanggakan. Dalam Sensus Pertanian 2023 tercatat, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem sebanyak 16,89 juta, naik 18,49 persen dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang hanya sebanyak 14,25 juta.

Kenaikan RTUP Gurem sebesar 18,48 persen ini, tentu memberi pelajaran kepada kita, tentang betapa pentingnya pembangunan petani dikemas secara khusus. Kita harus berani melahirkan paradigma pembangunan petani yang lebih jelas dan tegas. Jangan lagi pembangunan petani menjadi bagian dari pembangunan pertanian. Pembangunan Petani sudah saatnya berdiri sendiri.

Petani akan dapat hidup sejahtera, sekiranya kita mampu merumuskan dan melahirkan solusi cerdas yang langsung menukik ke akar masalah pokoknya. Setidaknya, ada dua persoalan besar yang kini tengah menyergap kehidupan para petani. Pertama berkaitan dengan berlangsungnya alih fungsi lahan yang semakin membabi-buta dan kedua berhubungan dengan alih generasi petani itu sendiri.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat