kievskiy.org

Pengelolaan SDA di Indonesia: Pahami Dampak Lingkungan dan Ketidakadilan Ekonomi

Ilustrasi eksploitasi sumber daya alam.
Ilustrasi eksploitasi sumber daya alam. /Pixabay/finmiki

PIKIRAN RAKYAT - Indonesia telah lama mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis pengerukan sumber daya alam (SDA) secara masif. Eksploitasi tersebut hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Negara hanya mendapatkan pajak dan/atau PNBP yang juga bahkan masih dikorupsi. Rakyat kecil hanya mendapat tetesannya. Tak jarang pula, rakyat yang memberikan kritik, melawan, mempertahankan hak-hak mereka diintimidasi, bahkan berujung penjara dan kematian.

Eksploitasi SDA tidak saja melahirkan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan ekonomi yang makin jomplang, tetapi bencana hidrometereologi yang datang silih berganti. Longsor dan banjir bandang memakan korban jiwa. Belum lagi pencemaran udara dan lingkungan, tanah yang tandus, dan sebagainya. Sungguh tidak adil.

Diperlukan komitmen serius pemerintah bergegas meninggalkan praktik ekonomi yang merusak ini. Berbagai dampak yang ditimbulkannya tidak bisa diteknikalisasi, karena ini masalah struktural.

Mungkinkah kegiatan ekonomi berwawasan lingkungan dan inklusif itu benar-benar bisa dilakukan secara utuh, tidak parsial sebatas. Mengingat eksplorasi mineral dan batu bara makin masif, pengerukan pasar laut, pembukaan hutan, dan berbagai kegiatan ekonomi ekstraktif lain yang terus berlangsung.

Ekonomi Hijau

Perubahan iklim sebagai akibat dari kerusakan lingkungan semakin masif dan disadari oleh negara-negara di dunia bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara mengeksploitasi SDA hanya akan membuat bencana bahkan bumi bisa saja tidak bisa dihuni lagi. Sebagai jawabannya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan yaitu suatu model pembangunan yang berorientasi pada kegiatan ekonomi hijau (green economy/GE).

GE menggabungkan faktor sosial dan lingkungan. Diperlukan efisiensi produksi, efisiensi energi, energi terbarukan, material baru, dan teknologi baru. Artinya GE menghemat sumber daya, menciptakan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan, dan inklusif secara sosial.

Inklusif secara sosial bahwa suatu kegiatan ekonomi dapat diakses oleh berbagai kalangan dan berkelanjutan terhadap sumber daya dan penciptaan lapangan kerja. Oleh karenanya pembangunan ekonomi berbasis GE memegang 5 prinsip dasar yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat; kesetaraan untuk berbagai generasi; memulihkan, memelihara dan berinvestasi dalam kegiatan sumber daya alam; mendukung tingkat konsumsi dan produksi yang berkelanjutan; serta didukung sistem yang kuat, terintegrasi, dan akuntabel.

Secara faktual, di negeri ini penerapan GE jalan di tempat bahkan paradoks. Pertama, Indonesia masih bergantung pada sumber energi kotor seperti batu bara. Transisi energi yang sedang dikerjakan pemerintah masih terhambat oleh pembiayaan energi baru terbarukan (EBT) yang rendah, konsistensi kebijakan terutama ekspolrasi mineral dan batubara yang masih terus berlangsung secara masif, dan sebagainya.

Berdasarkan studi International Renewable Energy Agency (IRENA), untuk mendorong percepatan transisi energi Indonesia butuh investasi USD 314,5 miliar selama periode 2018-2030, atau rata-rata sekira USD 17,4 miliar per tahun. Investasi ini diperlukan untuk mendorong penjualan kendaraan listrik di pasar domestik, meningkatkan kapasitas pembangkit EBT, serta membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung distribusi EBT sampai konsumen.

Temuan IRENA (2022) bahwa hambatan terbesar transisi energi di Indonesia adalah pendanaan dan investasi. Dengan demikian, target pemerintah meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi dari 13 persen pada 2017 menjadi 23 persen pada 2025 menjadi lebih sulit. Sumber pembiayaan perlu diperluas dan kapasitas pembiayaan lokal perlu ditingkatkan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat