kievskiy.org

116 Tahun Kebangkitan Nasional, Petani Bangkit Mengubah Nasib

Sejumlah petani di Blok Cambay, Desa Pakubeureum serta Blok Saluyukapas, Desa Kertawinangun, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka mulai panen walaupun jumlahnya belum luas.
Sejumlah petani di Blok Cambay, Desa Pakubeureum serta Blok Saluyukapas, Desa Kertawinangun, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka mulai panen walaupun jumlahnya belum luas. /Pikiran Rakyat/Tati Purnawati

PIKIRAN RAKYAT - Tahun ini, kembali bangsa kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-116 tahun. Perjalanan panjang Kebangkitan Nasional sejak lahirnya Boedi Oetomo 20 Mei 1908, mengundang banyak cerita menarik soal rasa kebangsaan bangsa Indonesia. Tidak sedikit kalangan yang merisaukan semangat kebangsaan (nasionalisme) dan rasa cinta tanah air (patriotisme) sebagian warga bangsa.

Pemikiran ini lumrah terjadi, karena selama 116 tahun, kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat telah mengalami perubahan yang begitu cepat, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi. Penggerusan terhadap nilai budaya adiluhung kerap terjadi, sehingga muncul nilai budaya baru, yang belum tentu seirama dengan rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air itu sendiri.

Suasana ini, jelas menyergap seluruh potensi bangsa. Salah satunya menyangkut kiprah kaum tani. Kemauan politik untuk menjadikan petani sebagai "penikmat pembangunan", tampak masih susah untuk diwujudkan. Petani di negeri ini, belum mampu memposisikan diri sebagai warga bangsa yang merasakan betapa indahnya pembangunan. Jarang dari mereka mampu berwisata ke berbagai negara yang memiliki destinasi wisata berkualitas dunia.

Ya, begitulah secuil gambaran tentang potret petani di tanah merdeka. Mereka masih pantas disebut sebagai "korban pembangunan". Mereka hidup sengsara dan melarat. Mereka terlihat lapar dan terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal. Hidup hanya sekedar menyambung nyawa, tanpa ada harapan masa depan yang menjanjikan.

Masalahnya semakin rumit, saat kita amati data hasil Sensus Pertanian 2023. Selama 10 tahun terakhir (2013-2023), jumlah petani gurem (memiliki lahan pertanian rata-rata 0,25 hektare) mengalami peningkatan jumlah rumah tangga cukup signifikan. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem tercatat sebanyak 16,89 juta.

Dengan kata lain, petani gurem mengalami kenaikan sebesar 18,49 persen, dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013, yang jumlahnya hanya sebanyak 14,25 juta. Kenaikan jumlah petani gurem dengan angka yang cukup membengkak ini, mestinya tidak perlu terjadi, sekiranya kita memiliki konsep jelas dan terukur untuk memartabatkan petani itu sendiri.

Sayangnya, hingga kini sepertinya Pemerintah belum mampu membangun paradigma baru tentang "pembangunan petani". Pemerintah belum dapat melepaskan diri dari pemikiran pembangunan petani merupakan bagian dari pembangunan pertanian. Padahal, pembangunan pertanian, jelas berbeda paradigma dengan yang namanya pembangunan petani.

Pembangunan pertanian sendiri bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian setinggi-tingginya menuju swasembada. Sedangkan pembangunan petani tujuannya meningkatkan kesejahteraan petani. Pengalaman membuktikan, berlimpahnya hasil produksi pertanian, tidak otomatis menjadikan kesejahteraan petani semakin baik.

Pembangunan petani jauh lebih kompleks ketimbang pembangunan pertanian. Itu sebabnya, menjadi amat keliru jika pembangunan petani menjadi bagian dari pembangunan pertanian. Kesejahteraan petani akan terwujud bila kita mampu merajut banyak sektor yang terkait di dalamnya. Pencapaiannya memerlukan sinergitas dan kolaborasi dari berbagai kalangan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat