PIKIRAN RAKYAT – Menurut laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM RI, erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada Selasa, 3 Maret lalu sekitar pukul 05.22 WIB, tersebut melontarkan abu vulkanik setinggi 6.000 meter dan tercatat oleh seismogram dengan amplitudo 75 mm dan durasi 450 detik.
Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Eng Mirzam Abdurrachman, ST MT menjelaskan, Gunung Merapi, Indonesia merupakan salah satu gunung aktif di dunia selain Sakurajima di Jepang dan Mauna Loa di Hawai.
Mirzam dalam siaran pers Humas ITB, Kamis, 5 Maret 2020, mengatakan setiap tahunnya, ketiga gunung tersebut sering terjadi erupsi.
Gunung Merapi juga memiliki periode letusan pendek setiap empat tahunan dan jangka panjang setiap 10-15 tahun sekali.
Namun, seperti disitat dari laman Kantor Berita Antara, hal tersebut tidak perlu disikapi khawatir.
Penting bagi penduduk sekitar dengan cara mengetahui self mitigation yang baik.
Baca Juga: Dari Lemon hingga Alpukat, Berikut 5 Buah Rendah Gula Terbaik yang Bisa Dikonsumsi
Menurut Dr. Mirzam, jika membandingkan dengan letusan Gunung Merapi pada 2018, sebelumnya gunung tersebut erupsi dengan ketinggian kolom yaitu 5.500 meter.
Jika melihat sekilas, tentu ada peningkatan energy pada 2020.
Namun peningkatan tersebut bisa diartikan dua hal, menunjukkan bahwa Gunung Merapi aktivitasnya akan berangsur naik, atau sebaliknya berangsur turun.
Baca Juga: Pulang dari Luar Negeri, Dosen Universitas Jember Diminta Self Isolated 14 Hari oleh Rektor
Untuk mengetahui ini, pemantauan secara komprehensif beberapa parameter seperti seismisitas, perubahan ukuran tubuh gunung api, pendeteksian jenis gas yang dilepaskan dan juga perubahan temperature akan memberikan jawaban yang lebih pasti.
PVMBG telah melakukan monitoring yang sangat baik sekali terkait aktifitas gunung api di Indonesia.
Akan tetapi, menurut Mirzam, masyarakat juga perlu mengetahui self mitigation dengan melihat fenomena yang terjadi di gunung api.
Baca Juga: Pelayanan Publik Kota Cimahi Masih Zona Kuning
Ia menjelaskan, bahaya dari gunung api sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, pertama adalah bahaya primer, yaitu bahaya yang terjadi bersamaan saat gunung tersebut meletus, contohnya adalah letusan merapai yang baru terjadi kemarin berupa munculnya abu vulkanik, sehingga bisa menyebabkan gangguan kesehatan dan gangguan pandangan.
Kedua adalah bahaya sekunder, yaitu bahaya yang terjadi setelah erupsinya berakhir, seperti munculnya lahar dingin.
“Terkadang orang lupa ketika letusan sudah berakhir, abu vulkanik yang mengendap di lereng, dan bercampur dengan air akan terkirim bersama, atau dikenal dengan lahar dingin atau lahar hujan," katanya.
Baca Juga: Pelayanan Publik Kota Cimahi Masih Zona Kuning
Ia menilai, bahaya kedua lahar itu sama, akan tetapi lahar panas atau lahar erupsi yang terjadi akibat gunung api yang memiliki danau kawah bisa diantisipasi, sementara lahar dingin kurang bisa diantisipasi.
"Istilah lahar dingin ini awalnya memang dikenal dari Gunung Merapi kemudian banyak diterapkan di gunung-gunung api di dunia,” katanya.
Lebih lanjut, Mirzam mengatakan, letusan gunung api dapat diprediksi melalui prediksi jangka pendek dan prediksi jangka panjang.