PIKIRAN RAKYAT - Karakter cageur, bageur, bener, pinter, dan singer menjadi kultur Sunda yang dijaga hingga sekarang.
Hal itu yang akhirnya menjadikan orang Sunda sebagai masyarakat yang memegang moralitas tinggi. Namun, dalam kondisi politik Indonesia saat ini, kultur budaya Sunda tersebut tidaklah cukup.
Harus ada kultur petarung dan pemberani agar orang Sunda muncul dan bisa berkontribusi membangun bangsa secara nyata di kancah politik tanah air. Membangun Sunda dan membangun Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi mengungkapkan, Paguyuban Pasundan--organisasi tertua di Jawa Barat yang masih eksis hingga sekarang--menjadi saksi hidup perjalanan pasang surut politik tanah air dan juga Jawa Barat sejak tahun 1913.
”Paguyuban Pasundan pun sudah sangat paham dengan kultur orang Sunda di kancah politik nasional yang memang nyaman dengan kondisinya sehingga hanya menjadi penonton. Apalagi, kekayaan bumi di tanah Sunda yang sudah melimpah ruah dan kultur Sunda yang memang cukup menjadi moralis,” katanya, Jumat 4 Maret 2022.
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat Sunda mulai memperbaharui kultur budaya, terutama di kancah politik nasional. Karakter yang harus dimunculkan adalah karakter petarung dan pemberani. Maju tak gentar, pantang mundur, karakter pantang menyerah. Berani bicara yang benar dan berani bertanggung jawab.
”Harus diakui, kultur orang Sunda itu berbeda dengan orang Jawa dan yang lainnya, menjadi pemimpin dan berani bersaing itu sudah diterapkan sebagai kulturnya. Tapi, orang Sunda itu cukup cageur, bageur, jadi moralis,” tuturnya.
Menurut dia, orang Jawa Tengah, misalnya, memiliki kultur harus menjadi pemimpin dan itu yang mereka terapkan dari awal.
”Jadi memang kini harus mulai dimunculkan semangat baru orang Sunda. Ada tafsir-tafsir budaya terbarukan dengan munculnya keberanian sosok urang Sunda yang ingin memimpin bangsanya. Itu menjadi budaya dan semangat serta harapan baru jika urang Sunda bisa menjadi petarung dan pemberani. Itu akan kami bangun mulai dari sekarang,” ujarnya.
Kemunculan tokoh-tokoh Sunda di kancah politik nasional, menurut Didi, merupakan harapan dan kemajuan bagi urang Sunda.
Sosok seperti Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno--yang membawa nama Sunda--menjadi salah satu bentuk tafsiran urang Sunda yang harus diperbaharui, yakni menjadi petarung dan pemberani.
”Sosok urang Sunda yang ingin muncul di kancah politik dan ingin memimpin bangsa akan sangat kami dukung. Ini merupakan bentuk harapan dan semangat baru urang Sunda. Bahwa urang Sunda tidak hanya cageur, bageur, bener, pinter, dan singer, tapi juga petarung dan pemberani,” katanya.
Didi mengungkapkan, jika pada masa depan muncul sosok-sosok calon pemimpin bangsa dari kalangan Sunda, hal tersebut menjadi semangat untuk urang Sunda dan juga bagi anak muda khususnya.
Dengan begitu, anggapan politik kotor tak akan selamanya benar. Sebaliknya, urang Sunda harus menjadikan politik sebagai jalan untuk berkontribusi nyata untuk bangsa dan negara.
”Tidak salah jika urang Sunda kompak dan mendukung tokoh dari Sunda yang akan berkiprah di kancah nasional, mau jadi pemimpin partai, pemimpin dewan, apalagi menjadi pemimpin bangsa,” katanya.
Ia mencontohkan dua pemimpin asal Sunda yang pola kepemimpinannya bisa dicontoh oleh calon-calon pemimpin bangsa asal Sunda saat ini. Mereka adalah Ali Sadikin dan Djuanda.
”Ada dua pola yang bisa dilihat dari kedua tokoh Sunda tersebut, Ali Sadikin dan Djuanda, saat mereka masuk ke kancah nasional, ” ujarnya.
Pertama, Ali Sadikin tampil dengan percaya diri dengan kekuatan fisik dan kekuatan diri sendiri tanpa melihat bagaimana dukungan masyarakat Sunda. Pada saat itu, Ali Sadikin menang dalam pemilihan presiden di seluruh kampus dan semua mendukungnya.
”Namun, ada ketersinggungan dari politik lain akhirnya Ali Sadikin tidak dimunculkan lagi kiprahnya. Hal ini lantaran pemimpin masa itu menganggap, tidak mau ada dua bintang dalam kepemimpinan Indonesia, padahal dia sangat didukung oleh anak muda dengan pola mendobraknya,” tuturnya.
Kedua, pola Djuanda. Dengan keilmuannya, akademisi dan juga teknokrat, Djuanda tidak mendobrak politik secara langsung.
Dia memilih masuk ke dalam sistem dan memperlihatkan keunggulan diri serta pasang badan kepada Presiden Soekarno. Akhirnya, ia dipercaya pemerintah dan menjadi Perdana Menteri ke-10 Indonesia.
”Saya menilai, sosok seperti Ridwan Kamil bisa mencontoh pola Djuanda. Tokoh lain dari Sunda pun sama bisa mencontoh Djuanda. Pola Djuanda ini yang sangat cocok digunakan orang Sunda di kancah politik saat ini. Bukan artinya menjilat, tetapi ikut menumpang di perahu orang lain dan ketika ada kesempatan meneruskan perahu itu dan dia menjadi nakhodanya karena keunggulan dirinya,” katanya.
Hal lainnya, menurut Didi, untuk bisa berkiprah di politik, harus juga melihat pola politik di tanah air, termasuk di kancah DPR. Sementara itu, jika dilihat, suara dari kalangan Sunda di tingkat DPR hanya 14 persen.
”Itu pun tidak kompak dan terpecah. Jadi, ada baiknya adanya sosok-sosok urang Sunda menjadi pembaharu dan harapan baru. Jadi, sebaiknya warganya juga kompak untuk selalu mendukung siapa pun dari Sunda yang mencalonkan diri menjadi pemimpin,” ujarnya.
Didi menegaskan, Paguyuban Pasundan memilih sikap netral dalam berpolitik. Meski demikian, di sisi lain, Paguyuban Pasundan sangat berharap bahwa tahun politik mendatang sudah saatnya diwarnai oleh tokoh-tokoh urang Sunda yang mampu membawa perubahan, semangat, serta harapan baru.
Seperti juga awal kelahiran Paguyuban Pasundan pada Juli 1913, sebagai tanda kembalinya kebangkitan semangat orang Sunda setelah Kerajaan Pajajaran sirna.
Awal kebangkitan orang Sunda sekaligus memperlihatkan perubahan sikap. Ada keberanian luar biasa untuk berjuang bersama merintis dan melahirkan negara ini dengan visi terwujudnya masyarakat yang punya harkat dan martabat.
”Jadi, kultur baru urang Sunda saat ini adalah petarung dan pemberani, serta ulah kuméok méméh dipacok. Hayu dukung urang Sunda,” ucapnya.***