kievskiy.org

Menggali Makna Spiritual Iktikaf pada 10 Malam Terakhir Ramadhan

Ilustrasi. Iktikaf Ramadhan.
Ilustrasi. Iktikaf Ramadhan. /Pixabay/İbrahim Mücahit Yıldız Pixabay/İbrahim Mücahit Yıldız

PIKIRAN RAKYAT - Putaran waktu terus bergulir, mengantarkan kita pada pengujung Ramadhan. Hati orang-orang yang beriman yang sudah basah sejak awal Ramadhan semakin sejuk dan syahdu menuju akhir Ramadhan. Ya, perasaan gembira, bahagia sedih dan syahdu.

Demikianlah orang beriman merasakannya: Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58).

Gembira pada awal Ramadhan, bahagia, lalu berubah menjadi sedih. Ya, sedih karena belum bisa memaksimalkan kebaikan pada bulan Ramadhan. Bisa jadi ada yang tidak sempurna memulainya. Oleh karena itu, ada kaidah Salafu Shalih: Jika di Ramadhan kita belum memaksimalkan dalam penyambutannya, maka hendaklah memaksimalkan sebelum perpisahannya.

Agar bisa memaksimalkan dalam fase sebelum berpisah dengan Ramadhan ini, Islam mensyariatkan satu amalan yang sudah banyak ditinggalkan muslimin. Amalan itu bernama iktikaf.

Baca Juga: Sistem Informasi Islam Sejak Turunnya Al-Qur’an pada Bulan Ramadhan

Ulama mendefinisikan iktikaf dengan: “Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu”. Secara fikih iktikaf sudah sangat banyak dibahas oleh para ulama. Sehingga mari kita renungkan iktikaf ini dari sisi yang lain.

Ibnu Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad memberikan pencerahan tentang hakikat iktikaf. Menurutnya, hakikat iktikaf adalah bersimpuhnya hati di hadapan Allah SWT, berkhalwat jiwa dengan-Nya dan memutuskan interaksi jiwa dengan dunia dan mengonsentrasikan jiwa untuk hanya berkomunikasi dengan Sang Pencipta, sehingga dalam hati kita tidak ada kegelisahan pada satu apa pun lalu bermuaranya jiwa pada Sang Pencipta. Inilah makna dan hakikat iktikaf yang sesungguhnya.

Iktikaf bukan hanya ibadah lahir untuk memaksimalkan sisa-sisa Ramadhan, melainkan lebih kepada pemaknaan batin yang diisi dengan nilai spiritual yang mendalam. Inilah amalan para Nabi dalam jedanya ada masa-masa mereka berkhalwat dengan Allah SWT. Demikian juga Nabi Muhammad SAW yang tidak pernah meninggalkan iktikaf selama hidupnya, bahkan suatu saat ketika beliau safar dan berhalangan beriktikaf, maka beliau mengqadanya pada tahun berikutnya dengan melakukan iktikaf selama dua puluh hari (HR. Tirmidzi).

Adapun secara rinci tujuan dan hikmah iktikaf adalah sebagai berikut:

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat