kievskiy.org

Deretan Kontroversi UU Kesehatan, Mandatory Spending hingga Pengerdilan Organisasi Profesi

Pengunjuk rasa dari tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Mereka menuntut DPR untuk menunda pembahasan RUU Kesehatan dalam Omnibus Law saat Sidang Paripurna DPR karena dianggap akan merugikan tenaga kesehatan. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym.
Pengunjuk rasa dari tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Mereka menuntut DPR untuk menunda pembahasan RUU Kesehatan dalam Omnibus Law saat Sidang Paripurna DPR karena dianggap akan merugikan tenaga kesehatan. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym. /Antara/Galih Pradipta

PIKIRAN RAKYAT - Sejak awal hingga pascapengesahan Omnibus Law RUU tentang Kesehatan menjadi undang-undang, penolakan atau bahkan perlawanan terus terdengar. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahkan akan mengambil langkah judicial review atau uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru saja disahkan pada Selasa, 11 Juli 2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang juga merupakan Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Yudi Mulyana Hidayat menilai bahwa pada prinsipnya, UU Kesehatan terlalu cepat digulirkan. Pembahasannya pun kurang transparan. Padahal, masih ada beberapa pasal yang harus dikaji lebih dalam lagi. Hal itu yang membuat banyak pihak bereaksi keras.

“Bukan berarti tidak setuju, tapi memang harus dikaji lebih dalam lagi karena akan membawa dampak pada sistem kesehatan kita ke depan,” tuturnya beberapa waktu lalu.

Disebutkan Yudi, ada beberapa pasal yang kurang pas dalam UU Kesehatan. Misalnya, mengenai sistem pendidikan spesialis, wajib belanja (mandatory spending) yang dihapus dalam UU Kesehatan, perlindungan tenaga kesehatan dan medis, perizinan dokter asing berpraktik di rumah sakit Indonesia, hingga Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup.

Baca Juga: Rencana Uji Materi UU Kesehatan

Mengenai wajib belanja, sebelumnya di dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.

Dikhawatirkan, penghapusan mandatory spending itu akan membuat biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat semakin besar. Alasannya, peningkatan kualitas kesehatan tidak bisa diharapkan kepada program yang dilakukan pemerintah daerah.

Selain itu di dalam UU tersebut menyebutkan bahwa STR berlaku seumur hidup tanpa perlu perpanjangan lagi. Izin praktik tenaga kesehatan (nakes) gratis 5 tahun sekali tanpa bayar apa pun termasuk iuran keanggotaan organisasi profesi menggunakan aplikasi transparan oleh Kemenkes RI.

Organisasi profesi juga akan independen dan tidak diatur pemerintah (tidak dibunyikan) dalam UU ini, dan akan mandiri menjadi mitra pemerintah dalam hal kesehatan sehingga tetap bisa menjaga marwah dan kebaikan-kebaikan untuk anggotanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat