kievskiy.org

MK Tolak Gugatan UU Cipta Kerja, YLBHI Serukan Masyarakat Terus Melawan Secara Konstitusional dan Aksi Jalanan

Aksi demo buruh menolak Perppu Cipta Kerja di depan gedung DPR/MPR.
Aksi demo buruh menolak Perppu Cipta Kerja di depan gedung DPR/MPR. /Pikiran Rakyat/Munady

PIKIRAN RAKYAT - Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dalam gugatan uji formil Undang-Undang Cipta Kerja dari gabungan serikat buruh dan menyatakan UU itu tetap berlaku, Senin, 2 Oktober 2023. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyatakan, putusan itu sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan pengkhianatan nyata para hakim MK terhadap demokrasi dan konstitusi.

Putusan itu dipandang hal yang memalukan. Soalnya, MK mengingkari sendiri putusan sebelumnya yang mengatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK menilai bahwa dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

MK membenarkan alasan “kegentingan yang memaksa” dalam pembentukan Perppu yang akhirnya menjadi undang-undang itu. Pertimbangannya, terdapat krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi perang Rusia-Ukraina dan krisis ekonomi akibat adanya Covid-19.

Padahal, adanya UU Cipta Kerja justru menenggelamkan rakyat dalam situasi krisis. Peraturan mengenai pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel dan dihilangkannya hak-hak dasar semakin membuat buruh tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Tetap Berlaku Meski Kontroversi: Bagaimana Sikap Kita?

UU yang kurang lebih sudah berjalan dalam kurun tiga tahun tersebut juga telah memperparah krisis agraria dan ketimpangan penguasaan lahan. UU itu pun telah terbukti menjadi instrumen hukum yang ampuh untuk melegitimasi praktik-praktik bisnis yang merusak lingkungan. Di saat yang bersamaan dengan adanya UU Cipta Kerja, kekayaan para oligarki politik dan bisnis meningkat drastis. Maka, menurut YLBHI, dukungan MK terhadap alasan “kegentingan yang memaksa” secara langsung mendukung penindasan oligarki terhadap rakyat tertindas di negeri sendiri.

MK mengabaikan pula gugatan mengenai fakta diabaikannya prinsip “partisipasi bermakna” dalam pembentukan undang-undang dengan alasan terminologi tersebut hanya berlaku pada pembentukan undang-undang, bukan Perppu yang notabene membutuhkan waktu cepat. Pengabaian itu, dinilai YLBHI membenarkan praktik orkestra culas Pemerintah dan DPR menginjak-injak nilai-nilai demokratis yang seharusnya selalu dijunjung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Putusan tersebut menunjukkan sikap MK yang tidak konsisten dalam menjaga putusannya sendiri, yang tidak sejalan dengan putusan MK sebelumnya.

MK dianggap bermain-main dengan pelanggaran konstitusi dan penghancuran negara hukum. Putusan UU tersebut menunjukkan pula kegagalan MK menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi. MK kini justru bertransformasi menjadi penjaga kepentingan kekuasaan dan oligarki.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat