kievskiy.org

KPU Dicecar Sanksi Gibran Tetap Sah Jadi Cawapres, Legitimasi Hukum Mustahil Kempes

Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka melambaikan tangan kepada peserta saat menghadiri Turnamen Mentari E-Sport Mobile Legend Championship di Tennis Indoor Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta pada Minggu, 14 Januari 2024.
Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka melambaikan tangan kepada peserta saat menghadiri Turnamen Mentari E-Sport Mobile Legend Championship di Tennis Indoor Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta pada Minggu, 14 Januari 2024. /Antara/Rifqi Raihan Firdaus

PIKIRAN RAKYAT - Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu cawapres dalam kontestasi Pemilu Pilpres 2024 mustahil dibatalkan. Bahkan, ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat sanksi pelanggaran berkali-kali, legitimasi hukum atas status Gibran akan tetap berlaku.

Pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid menilai bahwa sanksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP) tak akan berdampak apa pun terhadap pencalonan Gibran.

Terbaru, DKPP menyatakan Ketua KPU, Hasyim Asy'ari melanggar etik berat hingga diberikan sanksi keras atasnya. Namun, hal demikian, kata Fahri, tidak lantas membatalkan legalitas pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

"Tidak mempunyai implikasi konstitusional serta hukum apapun terhadap pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto Gibran dan Rakabuming Raka. Eksistensi sebagai "legal subject" Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional serta 'legitimate'," kata Fahri dalam keterangan tertulis, Senin, 5 Februari 2024.

Fahri menjelaskan, putusan DKPP mesti diinterpretasikan menggunakan dua konteks berbeda. Pertama, status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang diwajibkan untuk melaksanakan perintah pengadilan yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024

Sementara, konteks kedua adalah KPU sebagai pelaksana putusan Mahkamah Konstitusi "a quo". Mengenai hal itu, KPU dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, sehingga berkonsekuensi terjadi pelanggaran etik.

Dalam pertimbangan yuridis, imbuh dia, putusan DKPP menunjukkan bahwa tindakan KPU selaku teradu tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu dalam proses menaati putusan MK.

Namun, di sisi lain, pelanggaran etik itu tak punya pengaruh apa-apa terhadap putusan MK yang kadung sah dan mengikat, terkait majunya Gibran jadi Cawapres pendamping Prabowo Subianto.

"Artinya KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tetapi pada hakikatnya itu merupakan ranah etik yang tentunya dapat dinilai secara etik sesuai Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu," ujar Fahri.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat