PIKIRAN RAKYAT - Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI pada Senin 5 Oktober 2020 lalu memicu gelombang penolakan dari beberapa daerah.
Penolakan ini muncul lantaran substansi pada UU Cipta Kerja dianggap tidak pro kepada buruh atau pekerja.
Salah satu poin yang dipermasalahkan adalah Pasal 66 UU Cipta Kerja, yang dinilai mampu membuat sistem kerja outsourcing atau alih daya kian menggurita.
Baca Juga: Bicara Soal UU Cipta Kerja, Ruben Onsu Ungkap Kebijakan di Perusahaannya
Peneliti Pusat Peneltiian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati menilai, Pasal 66 UU Cipta Kerja berpotensi tak membatasi secara jelas sistem kerja outsourcing atau alih daya.
Berdasarkan draft RUU Cipta Kerja yang diterimanya Senin lalu, tak ada pengaturan jelas tentang batasan penerapan sistem outsourcing.
Baca Juga: Tak Hanya Covid-19, Berikut 4 Penyakit Berbahaya Akibat Tak Gunakan Masker di Tempat Umum
Padahal sebelumnya, sistem kerja outsourcing dibatasi pada Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam aturan lama tersebut, sistem kerja alih daya hanya dibolehkan untuk kegiatan jasa penunjang, atau kegiatan yang tak berhubungan dengan proses produksi.