kievskiy.org

Pertumbuhan Bandung Tak Diikuti Pembenahan Tata Kota, Pemerintah Tak Bisa Sendiri Atasi Kemacetan

Mobil-mobil parkir di Jalan Braga, Kota Bandung.
Mobil-mobil parkir di Jalan Braga, Kota Bandung. /Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar

PIKIRAN RAKYAT - Miris, kata yang tepat disematkan untuk berbagai macam kebijakan dengan dalih untuk mengurai kemacetan. Seperti yang baru saja digulirkan untuk mengurai macet di Braga yang dijadikan destinasi wisata unggulan di Kota Bandung.

“Di Bandung, di mana sih yang enggak macet? Menyelesaikan masalah macet bukan hanya sekadar menutup jalan. Macet itu sudah jadi masalah klasik di Kota Bandung,” ujar pengamat kebijakan publik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Cecep Darmawan saat dihubungi kontributor Pikiran-Rakyat.com Dewiyatini, pada Jumat, 26 April 2024.

Pertumbuhan Kota Bandung, kata Cecep, tidak diikuti dengan pembenahan tata kota. Pemukiman semakin padat, berbanding lurus dengan jumlah penduduk. Namun, berbeda dengan tata kotanya.

“Kota Bandung ini ketinggalan dalam pelayanan publik, juga birokrasi tata kota. Kebijakan yang dibuat hanya kebijakan reaktif yang tidak dibarengi kajian yang komprehensif,” ujarnya.

Menutup jalan di Braga dengan istilah Braga Free Vehicle, lanjut Cecep, bukan untuk mengurai kemacetan, tapi memindahkan kemacetan. Persoalan Braga, tidak bisa diselesaikan secara parsial.

Braga ini merupakan destinasi wisata yang di dalamnya ada restoran, hotel, Bandung Tempo Dulu, dan banyak hal lainnya. Macet bukan satu-satunya persoalan. Tepatnya, tidak ada tata kota yang konsisten menjadi pegangan di Kota Bandung.

“Sebelum menutup Braga, pemkot lakukan studi. Cari alternatif yang bisa membantu menyelesaikan masalah di Braga, seperti lokasi parkir, ruas jalan alternatif, dan lain-lain. Seperti hendak pindah rumah, kan harus menyiapkan rumah barunya lebih dahulu sebelum pindah,” katanya.

Pemerintah Tak Bisa Sendirian

Persoalan tata kota, kata Cecep, tidak bisa diselesaikan pemerintah sendirian. Ajak pihak lain yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Bentuk lembaga kolaboratif, ucap Cecep, yang bisa memberikan pandangan yang berbeda dan melahirkan berbagai kebijakan solutif.

“Lalu setelah dikaji, lakukan uji coba. Apakah kebijakan itu cocok atau tidak. Lalu siapkan juga solusi jangka panjangnya,” ujarnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat