kievskiy.org

Sekolah Bukan 'Kuburan Massal', Mekanisasi Sesuai Kemauan Negara

Ilustrasi sekolah tatap muka.
Ilustrasi sekolah tatap muka. /Pikiran-rakyat.com/AGUS KUSNADI Pikiran-rakyat.com/AGUS KUSNADI

PIKIRAN RAKYAT - Bung Karno pernah menyampaikan, dekadensi akal pikiran merupakan bencana batin yang paling besar bagi bangsa. Ketika kebodohan bersemayam di dalam jiwa, maka karakter bangsa menjadi lemah dan inferior. Para pemimpin dan masyarakatnya sukar mengerti posisi dan situasi dirinya, sehingga kemakmuran alam yang ada akan dengan mudah dirampas dan sulit diraih kembali. Kaum imperialis dan kolonialis berkepentingan dengan kebodohan serupa.

Pendidikan tentu saja bukanlah serangkaian upaya mengurangi angka buta huruf atau transfer of knowledge semata. Pendidikan sejatinya adalah gerakan untuk memberantas penyakit batin berupa akal pikiran yang bengkok dan kerdil, kemauan yang lemah terkulai. Ia adalah proses penyadaran tentang harkat diri sebagai manusia dan pembentukan mindset sebagai bangsa yang merdeka. Karena itu, jalan pendidikan bagi sebuah bangsa adalah perjuangan untuk survive dan melindungi diri dari berbagai keterpurukan dengan menciptakan kesejahteraan serta membangun kebudayaan.

Kondisi Pendidikan Kita?

Ada ungkapan yang menarik untuk kita renungkan:

Baca Juga: Brigjen Tumilaar Tak Kuasa Menahan Air Mata: Jangan Menakuti dan Sakiti Rakyat

...Apa guna kita memiliki
sekian ratus ribu alumni sekolah
yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan
bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti
akan menjadi penjajah rakyat
dengan modal kepintaran mereka (YB. Mangunwijaya).

Atau tulisan Hadi Purwanto yang dikutip pengantar redaksi “Problematika Pendidikan Islam Kontemporer”, ketika menyebut problem pendidikan (agama) masih bersifat doktrinal:

Guru bicara, murid menulis
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
Guru mengatur, murid diatur
Guru menghukum, murid dihukum
Dosen membaca, mahasiswa mencatat
Dosen bertanya tentang bacaannya, mahasiswa menjawab dengan catatannya
Dosen diam, mahasiswa tidur
Dosen absen, mahasiswa pulang
Dosen pulang, mahasiswa berkelahi dengan aparat,
mabuk, aborsi, lalu ekstasi

Siapa di antara akademisi dan intelektual yang tidak akan “tersinggung” dengan pernyataan di atas? Namun, ini bukan masalah “tersinggung” atau tidak, melainkan mengapa ungkapan seperti itu muncul? Apa yang terjadi dengan kebijakan dan praktik kependidikan kita? Dan tentunya, bagaimana pula “seharusnya” kita selaku pemerhati dan praktisi pendidikan menyikapi persoalan-persoalan kependidikan yang memunculkan kekecewaan yang demikian?

Baca Juga: Pendidikan Bukan Meyatimpiatukan Anak dan Memonsterkannya

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat