kievskiy.org

Syahwat Kekuasaan Politikus: Aku Berjanji Maka Aku Ada

Ilustrasi demokrasi.
Ilustrasi demokrasi. /Pixabay/geralt

PIKIRAN RAKYAT - Secara teori menurut Adlan Da’i, seorang tokoh NU sekaligus analis politik; Sistem demokrasi adalah sistem politik terbaik untuk jalan peradaban. 

Sistem yang kemudian Francis Fukuyama dalam "The end of history" diandaikan mampu merekrut kepemimpinan terbaik, mempersempit ruang korupsi, mengupgrade profesionalitas birokrat, pemerintahan menjadi  "public service" efektif, melayani dengan ‘hati’ dan lainnya. 

Janji tinggal janji, realitas terabaikan. Ketika pemimpin politik mengikatkan diri pada sejumlah janji kampanye pada proses demokrasi pemilihan misalnya menurut M. Alfan Alfian (2018) adalah lazim saja. 

Baca Juga: Sekolah Bukan ‘Kuburan Massal’, Mekanisasi Sesuai Kemauan Negara

Kalau Rene Descartes beradagium cogito ergo sum—aku perpikir, maka aku ada—pemimpin politik; aku berjanji maka aku ada. Politisi selalu berdalih, janji kampanye itu satu hal, memerintah adalah hal lain. 

Ini mirip sindiran mantan PM Uni Soviet Nikita Khrushchev (1958-1964), politisi itu semuanya sama; mereka janji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai.

Janji untuk membangun, bukan penguasa tapi pemimpin, mensejahterakan rakyat, menghilangkan kebodohan, memberantas kemiskinan, nafas rakyat adalah jiwaku, pendidikan harus dimartabatkan melalui kesejahteraan gurunya, kesehatan gratis dan lain-lain adalah jargon-jargon yang sering dijanjikan pada kampanye dalam proses demokrasi. 

Baca Juga: Yogyakarta Seistimewa Undang-Undang Keistimewaan (UUK): Pelantikan Gubernur 2022

Kenyataannya hanya lip service, yang terjadi demokrasi hanya memperluas pelaku korupsi. Menghasilkan ‘artis’ pura-pura pemimpin. 

Birokrat menjadi mainan politik. Hanya perubahan warna cat gedung, jembatan, jilbab dari satu warna ke warna lainnya yang penuh kamuflase. Birokrat kompeten tidak tampak. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat