kievskiy.org

Hal yang Perlu Dikritisi dari Utang Pemerintah: ke Mana Uang Tersebut Dibelanjakan?

Ilustrasi. Ke mana perginya uang hasil utang negara?
Ilustrasi. Ke mana perginya uang hasil utang negara? /Pixabay/Alex Barcley

PIKIRAN RAKYAT - Kementerian Keuangan melaporkan, utang pemerintah hingga 31 Januari 2023 mencapai Rp7.754,98 triliun atau setara 38,56 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang terhadap PDB tersebut diketahui turun dari persentase pada akhir 2022 yang mencapai 39,57 persen.

Sementara dalam data di APBN edisi Februari 2023, utang sebesar Rp7.754,98 triliun terdiri dari 88,9 persen Surat Berharga Negara (SBN) dan 11,1 persen pinjaman. Berdasarkan mata uang, utang pemerintah berdenominasi rupiah mendominasi dengan proporsi 71,45 persen.

Menurut Kemenkeu, hal itu dilakukan karena sejalan dengan kebijakan umum pembiayaan utang yaitu mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap.

Dilihat dari angkanya, posisi dan eksposur utang Indonesia terkesan cukup besar. Namun demikian, sebenarnya posisi utang pemerintah semakin membaik ketimbang dua tahun lalu. Tentu kita masih ingat bagaimana BPK dua tahun lalu pernah mengingatkan pemerintah soal utang negara yang sudah mulai di luar kendali.

Baca Juga: Daftar Anggota DPR yang Mendukung dan Menyerang Mahfud MD Soal Transaksi Janggal Rp349 Triliun di Kemenkeu

Menurut BPK kala itu, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada tahun 2020 mencapai 19,06 persen. Angka tersebut tentu melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen. Lalu, rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, juga terbilang jauh di atas rekomendasi IMF yang sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.

Selain itu, masih menurut BPK, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada tahun 2020 mencapai 46,77 persen. Angka tersebut juga melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35 persen, walaupun nilai tersebut masih dalam rentang standar IDR yang sebesar 28-63 persen.

Karena sentilan dari BPK di satu sisi, dan semakin membaiknya kondisi ekonomi nasional setelah pandemi mereda, pemerintah semakin memiliki ruang untuk menekan angka utang nasional, tapi, kritik tak mereda.

Memang, ada banyak indikator yang bisa dipakai untuk menilai utang sebuah negara apakah masih aman, sustainable, atau sudah lampu kuning. Dari semua indikator tersebut, sebagian bisa saja memberikan justifikasi positif, sebagian justru sebaliknya. Menurut saya, itu hal yang biasa.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Ada 491 Entitas ASN Kemenkeu yang Terlibat Transaksi Janggal Rp349 Triliun

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat