kievskiy.org

Calon Presiden dan Pengaruh Politik Kampus

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Andreas Fitri Atmoko

PIKIRAN RAKYAT - Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024, pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat (pileg) dan pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) akan diselenggarakan serentak pada Rabu, 14 Februari 2024. Dua nama sudah dideklarasikan sebagai bakal calon presiden, ada Anies Rasyid Baswedan yang diusung oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ada Ganjar Pranowo yang diusung oleh PDI-P.

Berbagai analisis mengemuka tentang siapa bakal capres selanjutnya yang akan muncul, apakah hanya  dua nama ini saja, atau akan muncul tiga pasang calon, apakah Anies akan dijegal, juga tentang siapa yang akan mendampingi mereka masing-masing. Semuanya masih dalam kalkulasi dan manuver politik (juga hitung-hitungan sosial ekonomi juga pastinya). Termasuk analisis ngeri-ngeri sedap Deni Indrayana yang menengarai adanya persiapan sistematis terstruktur yang extra ordinary dari pejabat negara untuk menyiapkan kemenangan capres tertentu.

Sebagai agenda rutinan demokrasi, sejatinya semua fenomena dan gejala-gejala penyertanya ini biasa-biasa saja. Yang mungkin lebih terasa adalah munculnya kekhawatiran kembali terulangnya fragmentasi masyarakat akibat keberpihakan terhadap pasangan calon (paslon) berbeda. Pada periode sebelumnya, jagat media sosial diramaikan dengan lalu lintas bahkan perang informasi yang tidak sehat, hoaks, saling mencaci maki, fitnah, fanatisme, apalagi ketika muncul pasukan buzzer yang membuat gaduh dan mengusik psikologis kebangsaan. Hal ini kemudian berlanjut dengan fenomena penggorengan isu ideologis, radikalisme, intoleran, anti NKRI, kriminalisasi, politik identitas, Arab vs budaya Nusantara, pemidanaan dengan alasan pelanggaran UU ITE dan lain-lain yang memprihatinkan.

Baca Juga: Kebebasan Pers Perlu Dijaga di Tahun Pemilu

Kampus Berpolitik

Belakangan semakin bermunculan suara yang jelas-jelas berisi dukung-mendukung capres, tidak terkecuali yang mengaitkannya dengan identitas kampus. Tentu hal tersebut adalah bagian dari hak warga negara, silakan-silakan saja sepanjang klaim institusi tersebut tidak menjadi keberatan pihak terkait.

Yang penting dikemukakan adalah bagaimana posisi kampus/perguruan tinggi dalam konstelasi dinamika perpolitikan seputaran pileg dan pilpres. Tentunya sangat tidak diharapkan jika kampus terjebak, ditarik-tarik atau didorong-dorong untuk mendukung calon tertentu. Kepentingan politik kampus bukanlah pada politik praktis apalagi pragmatisme politik sebagaimana terkadang model ini yang dipilih sebagian pihak tertentu.

Kampus merupakan elemen civil society yang keberpihakannya adalah terhadap negara dan bangsa. Keberpihakan kampus adalah keberpihakan terhadap kepentingan rakyat, bukan partai politik, bukan organisasi massa tertentu, apalagi sosok/figur tertentu.

Politik kampus adalah “politik garis lurus” yang sejalan dengan amanat konstitusi dan sejalan dengan fundamental sistem nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejujurnya hal tersebut belakangan kerap disuguhkan pada tataran teoritis, retorik, normatif dan konsepsi, tidak kaya dan berkelimpahan dalam tataran praksis dan implementasi. Untuk hal-hal tadi maka sivitas akademika kampus perlu benar-benar melek literasi politik, untuk memosisikan dirinya pada politik garis lurus konstitusi dan rakyat. Literasi tentang realitas pendidikan politik rakyat, keseimbangan antara anggaran dan proyek-proyek pembangunan, wajah penegakan hukum berkeadilan, penyelenggaraan good and clean governance, kemandirian ekonomi bangsa, dan realitas lain-lain.

Baca Juga: Anomali Negeri Ini, Kala Situasi Politik dan Rakyat Tak Lagi Selaras

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat