kievskiy.org

Dosen Bukan Buruh, Relasi di Dunia Pendidikan Bukan Relasi Ekonomi

Ilustrasi. Belakangan muncul wacana yang menyebutkan dosen adalah buruh.
Ilustrasi. Belakangan muncul wacana yang menyebutkan dosen adalah buruh. /Pixabay/Lorraine Mays

PIKIRAN RAKYAT - Entah apa skenario di balik gagasan bahwa dosen adalah buruh, apalagi dilanjutkan dengan ide perlunya serikat dosen dalam lingkup nasional. Usia perkumpulan dengan label serikat buruh atau serikat pekerja sudah panjang. Adapun keberadaan perguruan tinggi dan dosen-dosennya pun usianya melebihi usia republik ini. Tiba-tiba, belakangan mencuat ide mengidentikkan dosen dengan buruh serta menggalang sebentuk gerakan terorganisir.

Pekerja atau buruh adalah "Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Definisi tersebut menunjukkan sejumlah elemen dalam konsep “perburuhan” yaitu ada pihak pemberi kerja sekaligus pemberi upah atau imbalan. Ada pekerjaan yaitu tugas atau kegiatan yang harus dikerjakan, dan ada pihak pelaksana pekerjaan sekaligus penerima upah atas pekerjaan yang dilakukannya. Dasar dari “perburuhan” adalah kontrak atau perjanjian kerja dengan segala hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.

Dengan demikian, asas perburuhan adalah ideologi ekonomi yang di antaranya terpolarisasi ke dalam dialektika kapitalisme dan sosialisme. Mungkin sejatinya ideologi ekonomi ini memerlukan landasan baru, misalnya humanisme religius. Hal ini sejalan dengan Pancasila jika dikonsepsikan dan diimplementasikan dengan benar yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang (seharusnya) dijiwai oleh spirit Ketuhanan Yang Maha Esa.

Baca Juga: Kisah Dosen Sekolah Vokasi IPB Ciptakan Aplikasi Penerjemah Tangisan Bayi, Bermula dari Seminar

Ideologi Pendidikan

Gagasan dosen identik dengan buruh mendasarkan pada asumsi bahwa relasi dosen dengan institusi pendidikannya adalah relasi ekonomi dan perjanjian kerja yaitu hubungan antara pemberi kerja dengan penerima kerja, dan pekerjaannya berupa Tridharma Perguruan Tinggi. Dalam kerangka berpikir ini, pendidikan dianggap sebagai industri dan fabrikasi yang di dalamnya ada pihak penguasa/pengusaha dan ada pihak yang dikuasai/sparepart perusahaan. Status pihak yang disebut kemudian hanyalah obyek kekuasaan dan perusahaan.

Tentu sangat disesalkan sekiranya sistem pendidikan di Indonesia mengarah kepada ekonomisme, industrialisme, dan fabrikasisisme yang menjadikan manusia-manusia pendidikan, institusi-institusi pendidikan, hanyalah instrumen kapitalisme dan mesin untuk memenuhi syahwat oligarki ekonomi. Hal ini mengingat pendidikan bangsa adalah salah satu amanat mendasar konstitusi yang diformulasikan bahkan sebelum NKRI ini dideklarasikan kemerdekaannya. Untuk itu para pemegang mandat rakyat yang mengelola negara ini harus melakukan refleksi terus menerus, jangan sampai membawa sistem pendidikan ke arah yang salah.

Memang patut disayangkan, andaikata perguruan tinggi dipacu untuk berkompetisi dalam ‘pasar bebas” dengan parameter-parameter yang artifisial: banyaknya guru besar, produktivitas publikasi jurnal terindeks dan bereputasi, jumlah hak paten, akreditasi internasional, urutan ranking dalam kelas dunia, pemenuhan link and match lulusan dengan dunia usaha dan dunia industri, hilirisasi produk riset, dan lainnya. Indikator kinerja memang diperlukan. Namun, hal itu tidak boleh melupakan, mengenyampingkan bahkan tercerabut dari misi besar dan fundamental pendidikan yaitu memanusiakan manusia dengan kualitas kemanusiaan holistik yang paripurna sehingga terbangun peradaban umat terbaik.

Baca Juga: Potret Miris Gaji dan Kesejahteraan Dosen di Indonesia: Dianggap Makmur padahal Tidak

Dosen, guru, dokter, dan profesi kemanusiaan lainnya, walaupun menerima imbalan atas pekerjaannya, asasnya bukan ideologi ekonomi, maka tidak boleh digiring dan didorong menjadi mesin ekonomi. Ideologi pendidikan adalah ideologi kemanusiaan, kealaman, kehidupan, kesemestaan, dan ideologi sistem nilai fundamental yang mendasari semuanya.

Dalam agama (Islam) misalnya, fundamental gerakan pembangunan peradaban dan pengembangan kehidupan diawali dengan gagasan "Iqra bismi Rabbika alladzi khalaqa" yaitu “Memahami segala sesuatu dengan kerangka nilai-nilai transenden”. Dalam sejarah pendirian Republik Indonesia dengan tepat ditransformasikan ke dalam rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai jiwa dan spirit pembangunan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya spirit ini kemudian diombang-ambing oleh tafsir kepentingan politik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat