PIKIRAN RAKYAT - Sejak peresmiannya, Masjid Al Jabbar mendapatkan atensi yang melimpah dari publik. Al Jabbar menyajikan arsitektur modern expressionism karya Ridwan Kamil, serupa cangkang struktur atap sirap geometri kompleks kubah bertulang.
Arsitektur samar serupa dengan Sydney Opera karya arsitek Denmark Jørn Utzont tahun 1959 yang karena biaya melonjak, kritik, dan kontroversi membuatnya mengundurkan diri.
Serupa Al Jabbar, tetapi tanpa kritik publik dan undur diri. Pasalnya, Ridwan Kamil sebagai arsitek merangkap gubernur memiliki kewengangan anggaran APBD provinsi sebesar Rp47 triliun/tahun serta keinginan politis untuk terus melanjutkannya.
Baca Juga: Kutu Buku vs Kutu Gawai
Sydney Opera berupa cangkang concrete dengan serangkaian tulang rusuk beton penopang panel atap beton precast berlapis keramik glossy white cream. Bandingkan Al Jabbar yang tampak hanya menggunakan aluminium composite, GRC hingga fiber cements dengan struktur rangka besi saja. Tak heran, muncul pertanyaan soal ketahanan, keamanan dan perawatannya, termasuk untuk ke-4 tiang/minaret, gerbang, dan gazebo di sekeliling masjid.
Oleh karena itu, menjadi penting sebagai informasi publik untuk mengetahui blue print konstruksi, material serta pelaksana pengerjaan sebagaimana diamanatkan UU Keterbukaan Informasi termasuk memiliki jaminan kepastian hukum untuk keamanan dan keselamatan bagi penggunanya seperti yang termaktub dalam UU No.25/2019.
Desain Al Jabbar seyogyanya dapat mengikuti tren global saat ini sebagai arsitektur ekologis ramah lingkungan, zero carbon-low energy dalam merespons krisis energi dan perubahan iklim. Struktur atapnya dapat menggunakan solar panel sebagai sumber listrik alami, transisi celah atap menjadi ventilasi sirkulasi udara untuk meminimasi penggunaan AC.
Konstruksi keempat minaret dapat juga dipasang solar panel verikal disertai desain aerodinamika sebagai penerima angin, sebagai sumber listrik tambahan ketimbang hanya untuk speaker dan pelbagai lampu gemerlap yang malah menambah polusi cahaya perkotaan.