kievskiy.org

Kutu Buku vs Kutu Gawai

Ilustrasi buku.
Ilustrasi buku. /Pixabay/EliFrancis Pixabay/EliFrancis

PIKIRAN RAKYAT - Sambil melihat-lihat buku baru dan membaca sebagian isinya,  selama beberapa jam penulis nongkrong di salah satu cabang toko buku nasional ternama yang ada di Garut.  Selama penulis  nongkrong, orang yang berkunjung ke toko buku tersebut dapat dihitung dengan jari. Kondisi ini jauh berbeda dengan salah satu mall terbesar di Garut yang selalu padat pengunjung. 

Setelah dari toko buku tersebut penulis bergeser ke alun-alun Garut yang kini menjadi taman hiburan gratis. Di taman yang baru diresmikan setahun lalu ini banyak orang yang duduk-duduk di pinggir taman sambil  merunduk, khusyuk dengan gawainya masing-masing. 

Di taman tersebut penulis berkesempatan mewawancarai beberapa mahasiswa berjas almamater sebuah perguruan tinggi yang kebetulan sedang nongkrong. Salah satu pertanyaan yang penulis ajukan adalah jumlah buku yang mereka baca setelah sekian tahun mengikuti perkuliahan. Jawabannya sangat mencengangkan, mereka hanya membaca satu sampai dua buku, itupun tidak tamat, hanya dibaca bagian-bagian yang pentingnya saja. Menurut mereka, kini tak perlu lagi membaca buku, materi kuliah dan penyelesaian tugasnya sudah tersedia di internet, cukup copy-paste

Tak jauh berbeda dengan taman alun-alun Garut, taman Kian Santang yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter ke arah selatan dari taman alun-alun Garut selalu ramai dengan orang-orang yang duduk-duduk sambil bermain gawai. Sementara kotak buku bacaan, kolecer (kotak literasi cerdas) yang ada di pojok taman tersebut “kesepian” tak ada yang menyapanya.

Baca Juga: Cimahi Raih Opini WTP 10 Kali Berturut-turut, Pj Wali Kota: Semoga Bisa Terus Dipertahankan

Itulah gambaran kecil tentang minat baca, terutama membaca buku yang penulis temukan di kalangan masyarakat. Tentu saja temuan penulis ini tidak mewakili kondisi minat baca masyarakat yang sebenarnya. Namun setidaknya menjadi gambaran mulai berkurangnya minat baca masyarakat terhadap buku. Sekalipun di gawai tersedia e-book, hanya sedikit orang sampai khatam membacanya.

Setiap tahun, terutama pada saat memperingati hari buku nasional dan hari ulang tahun Perpustakaan Nasional yang selalu diperingati setiap 17 Mei, masalah minat baca selalu menjadi sorotan. Kini,  gelar “kutu buku” nyaris tidak ada, tergantikan dengan “kutu gawai”, “kutu internet”,  dan “kutu media sosial.” Menurut data yang ada, sampai tahun 2023, tujuh puluh persen penduduk Indonesia telah memiliki gawai/smartphone dengan menghabiskan durasi waktu 5,7 jam untuk melihat atau menggunakannya. Konon kabarnya, jumlah waktu rata-rata penggunaan gawai di negara kita lebih tinggi dibandingkan negara lainnya seperti Brazil (5,3 jam), Saudi Arabia (5,3 jam), Singapura (5,3 jam), Korea Selatan (5 jam), dan Meksiko (4,9 jam).  

Melihat kenyataan tersebut merupakan hal yang wajar jika minat baca terhadap buku menjadi rendah, sebab waktu untuk membaca buku sudah tersita dengan waktu bermain dan melihat gawai. Ironisnya, negara kita menempati urutan ke-2 di dunia sebagai negara dengan jumlah gedung perpustakaan terbanyak. 

Baca Juga: Orangtua Cerai dan Menikah Lagi, Dua Anak di Majalengka Hidup Terlantar

Bangsa kita belum menjadi bangsa yang “cerewet” dalam aktivitas membaca. Jargon “buku jendela dunia”, “buku gudang ilmu”, “buku teman setia yang tak pernah marah”, dan kata-kata bijak lainnya tentang buku dan membaca hanya tertulis rapi di buku kumpulan kata-kata bijak. Bangsa kita kini lebih terkenal sebagai bangsa yang paling cerewet di dunia maya. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat