kievskiy.org

Kemunduran Partai Islam pada Pemilu dan Post-Islamisasi

Ilustrasi Pemilu 2024
Ilustrasi Pemilu 2024 /Pikiran Rakyat/Waitmonk

PIKIRAN RAKYAT - Tak bisa dimungkiri kesalehan formal umat Islam di Indonesia kian meningkat. Ini terlihat dari makin umumnya orang Indonesia menggunakan simbol-simbol Islam seperti jilbab dan songkok. Selain itu, semakin banyak umat Islam di Indonesia yang mengonsumsi produk-produk berbasis syariah seperti wisata halal, produk keuangan syariah, dan lain sebagainya.

Uniknya, fenomena ini tidak terjadi dalam dunia politik. Maksudnya, peningkatan kesalehan umat Islam di Indonesia, gagal menyumbangkan kemenangan partai berlabel Islam dalam pemilu.

Bahkan, hasil survei dari Lingkar Survey Indonesia (LSI) Denny JA memprediksi bahwa partai-partai Islam akan mencatat angka elektoral terburuk sepanjang sejarah pada Pemilu 2024. Partai-partai itu adalah PPP, PKB, PKS, PAN, PBB, Partai Ummat, dan Partai Gelora.

Hanya PKB (8 persen) dan PKS (4 persen) yang akan lolos parliamentary threshold (PT) dan melenggang ke Gedung DPR. Dengan kata lain, prestasi elektoral partai Islam terus mengalami kemunduran dari masa ke masa.

Baca Juga: Terkait Temuan 52 Juta Data Janggal dalam DPS Pemilu 2024, Legislator PAN Minta KPU Cocokkan Data

Hal ini mengagetkan. Apalagi mengingat banyak orang mempersepsikan adanya kebangkitan gelombang Islam politik menyusul fenomena Pilkada DKI Jakarta 2017 saat Anies Baswedan berhasil mengapitalisasi kekuatan Islam politik untuk mengalahkan petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi?

Post-Islamisasi

Terjadinya keterputusan antara kesalehan dan perilaku elektoral umat Islam di Indonesia sebenarnya bisa dijelaskan melalui proses umat Islam menuju post-Islamisme alias post-Islamisasi. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (KPG, 2015), post-Islamisme adalah upaya umat Islam menyatukan religiusitas dan hak-hak, keimanan dan kebebasan, Islam dan kemerdekaan. Kondisi post-Islamisme lebih menekankan hak daripada kewajiban, keragaman sebagai pengganti suara otoritas tunggal, kesejarahan ketimbang teks keagamaan, serta masa depan ketimbang masa lalu. Post-Islamisme ingin mengawinkan antara pilihan individu dan kebebasan, antara demokrasi dan modernitas.

Untuk memudahkan penjelasan Ariel di atas, kita bisa mengatakan bahwa kredo post-Islamisme adalah iman, kenikmatan, dan kekayaan. Inilah kondisi ketika penganutnya bisa saja saleh dalam ritual peribadatan dan tampilan formal (seperti mengenakan jilbab atau berjanggut), tetapi tidak merasa rikuh mengonsumsi produk budaya modern seperti menonton konser musik Barat atau K-Pop, menonton film, berbelanja di mal-mal mentereng, dan sebagainya.

Proses post-Islamisasi ini sejalan dengan temuan Pepinsky, Liddle, dan Mujani dalam Kesalehan dan Pilihan Politik (Prenada Media, 2018) bahwa efek kesalehan terhadap opini publik Indonesia adalah kosmopolitan, tidak partikularistik. Revivalisme religius secara global, termasuk di Indonesia, mungkin saja menggeser orientasi global muslim ke semua negara non-Barat, tapi tidak mengorbankan keterlibatan mereka dengan nilai-nilai Barat. Dalam konteks Indonesia, ini menciptakan moderasi Islam dalam pilihan politik. Singkat kata, ketaatan individual tidak menentukan preferensi politik.

Baca Juga: Denny Indrayana: Hipotesis Saya, Jokowi Ingin Tunda Pemilu dan Perpanjang Masa Jabatan Presiden

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat