kievskiy.org

Dikotomi dan Stigma dalam Pendidikan di Indonesia

Ilustrasi siswa SMA.
Ilustrasi siswa SMA. /Antara/Hafidz Mubarak A

PIKIRAN RAKYAT - Pendidikan di Indonesia, khususnya di tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) sejauh ini telah mereproduksi dominasi pengetahuan. Sudah sejak lama, terdapat pembagian jurusan sesuai minat dan kemampuan siswa yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Pembagian ini tidak hanya ditujukan untuk pembagian minat dan kemampuan siswa semata. Namun, ikut memproduksi dikotomi "bodoh" dan 'pintar" dalam pendidikan.

Dikotomi penjurusan IPA dan IPS bahkan Bahasa yang sudah berjalan puluhan tahun itu pun akhirnya melahirkan adanya miskonsepsi bahkan stigma terhadap jurusan IPA dan IPS.

Siswa yang nilai akademiknya bagus dituntut untuk masuk ke jurusan IPA. Padahal bisa jadi ketertarikan minat siswa itu justru di bidang sosial. Karena ada stigma jurusan anak pintar dan bodoh, siswa itu  akhirnya memilih jurusan yang sebetulnya bukan minatnya.

Begitu pula dengan siswa yang nilai akademiknya kurang bagus jadi terpaksa masuk IPS. Sebab,  standar nilai untuk masuk penjurusan IPA lebih tinggi daripada jurusan IPS. Padahal mungkin saja minat siswa tersebut  ini lebih suka topik yang berkaitan dengan ilmu alam.

Baca Juga: Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia Masa Kini

Mulai tahun ajaran baru 2022/2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi memberlakukan kurikulum baru. Dalam kurikulum baru tersebut, tak ada lagi kelompok siswa yang terbagi dalam jurusan sebagaimana yang berlaku selama ini."Tak ada lagi jurusan IPA, jurusan IPS atau jurusan Bahasa. Siswa belajar tanpa kelompok peminatan."

 Menteri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Riset) Nadiem menjelaskan, siswa bebas memilih mata pelajaran yang diminatinya dalam dua tahun terakhir, sebelum menamatkan pendidikan di bangku SMA.

Kurikulum Merdeka SMA adalah kurikulum yang diterapkan pada jenjang pendidikan SMA dengan kegiatan belajar mengajar yang lebih fleksibel, mulai dari segi alokasi waktu hingga materi pelajaran, tapi tetap berfokus pada materi esensial, pengembangan karakter, dan kompetensi peserta didik.

Baca Juga: UNICEF Sebut Akses Pendidikan 4 Juta Anak Terganggu Akibat Gempa Bumi Turki-Suriah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat