kievskiy.org

Restorasi Pendidikan agar Tak Berbuah Kekerasan

Ilustrasi pendidikan.
Ilustrasi pendidikan. /Pikiran Rakyat/Ririn NF

PIKIRAN RAKYAT - Sejumlah kasus penganiayaan menjadi viral, dilakukan dengan sadis, dan mengakibatkan korban mengalami luka serius. Pelaku seolah bertindak gegabah yang merugikan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Pelaku umumnya berpendidikan dan orangtua pun tidak mampu membantu anaknya mengendalikan emosi di saat marah.

Meski korban berhak mendapatkan pemulihan kesehatan dan rehabilitasi psikologi dari dampak penganiayaan yang dialami, tapi proses hukum pelaku tetap berlanjut atas tindak pidana tersebut. Bahkan berdampak seolah menyeret keterlibatan hukum anggota keluarganya.

Selain itu, marak pemberitaan faktual kasus rentetan kekerasan yang terjadi kepada anak-anak di Indonesia membuat geger masyarakat, mulai dari kekerasan kasus seksual, penelantaran, hingga perundungan (bullying).

Masyarakat pun menunjukkan berbagai sikap, dari hanya prihatin sampai geram. Apalagi banyak kasus dilakukan pimpinan lembaga pendidikan dan guru.

Baca Juga: Keluarga dan Peran Pentingnya dalam Prestasi Belajar Anak

Oleh karena itu, korban kekerasan dan penganiayaan acapkali menjadi trauma. Bahkan bagi masyarakat luas tampak berakibat menentukan pilihan lembaga pendidikan bagi anaknya dengan mengambil sikap hati-hati, waspada, dan penuh perhitungan. Bahkan terdapat masyarakat yang berkontemplasi apakah kekerasan anak dari buah pendidikan?

Kondisi pendidikan

Pengamatan kondisi pendidikan dan pembelajaran di lembaga pendidikan saat ini tampak menunjukkan berbasis Taksonomi Bloom dan kompetensi. Pendekatan Taksonomi Bloom bertolak dari analisis muara perilaku hasil belajar, yaitu identifikasi tujuan pendidikan berbentuk struktur hirarki kemampuan peserta didik, mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks.

Penggunaan Taksonomi Bloom dalam rumusan tujuan pendidikan terdiri atas tiga domain, yaitu domain pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Tiga domain Bloom diperoleh setelah pengalaman pembelajaran, dipandang menggambarkan kemampuan yang dimiliki peserta didik, dan dipandang menjadi penuntun kebutuhan peserta didik menguasai kompetensi. Yaitu kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan standarisasi ketentuan performa kerja.

Baca Juga: PPDB Berkeadilan, Menentukan Nasib Jutaan Anak

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat