kievskiy.org

Menggagas Politik Identitas Berkualitas

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik. /Freepik/rawpixel.com

PIKIRAN RAKYAT - Menjelang pemilihan umum legislatif, kepala daerah, maupun presiden pada 2024, masyarakat masih sibuk bergulat dengan soal peranan politik identitas, terutama yang berbasis Islam. Memang, sejak pemilihan kepala daerah (pemilukada) DKI Jakarta 2017 dan pemilihan presiden (pilpres) 2014 serta 2019 yang berlangsung keras karena politik identitas, banyak kalangan memandang negatif konsep ‘politik identitas’.

Stigma itu lantas mendapatkan justifikasi ilmiahnya dari Francis Fukuyama. Dalam artikel “Against Identity Politics” (majalah Foreign Affairs, September/October 2018), Fukuyama mengemukakan bahwa masyarakat yang terus-menerus terfragmentasi ke dalam segmen-segmen berbasiskan identitas sempit akan berbuah pada negara gagal. Masyarakat terfragmentasi ini kemudian menghambat kemungkinan adanya dialog maupun tindakan kolektif masyarakat secara keseluruhan karena banyak kelompok meyakini bahwa identitas mereka—entah itu identitas kebangsaan, keagamaan, etnis, gender, dan lain sebagainya—tidak mendapatkan pengakuan yang memadai. Jadi, Fukuyama memandang politik identitas itu sejatinya berbahaya bagi demokrasi.

Ini sangat disayangkan, terutama dalam konteks Indonesia. Pasalnya, politik identitas sejak dari awal bangsa ini berdiri sudah memainkan peranan penting. Sebagai contoh, perdebatan Panitia Sembilan yang terbagi menjadi kubu Nasionalis dan kubu Islam akhirnya melahirkan dua dokumen bersejarah Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Pancasila 18 Agustus 1945. Nantinya, Bung Karno sama-sama mengakomodasi kedua dokumen ini dalam Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 dan Pancasila dengan menegaskan bahwa semangat Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 (Endang S Anshari, Piagam Jakarta, GIP, 1995). Artinya, politik identitas adalah suatu fakta di Indonesia, tinggal bagaimana kita mengarahkannya menjadi politik identitas yang berkualitas.

Baca Juga: Kurban Politik Penentu Karier Politisi

Tilikan teoretis

Lalu, bagaimana cara mewujudkan politik identitas yang baik? Sebelumnya, mari kita tinjau dulu kritik-kritik terhadap tesis Fukuyama (Foreign Affairs March-April 2019, “Fukuyama & His Critics on Identity Politics”). Misalnya, Stacey Abrams menjelaskan bahwa dunia sekarang melihat adanya persinggungan antara tren keberagaman dan tren peningkatan aspirasi akan persamaan kondisi sosial ekonomi. Sehingga, ketika berkampanye sebagai gubernur Georgia di AS pada 2018, Abrams berupaya memahami kegelisahan khas setiap kelompok identitas terkait kondisi sosial ekonomi mereka ketimbang berusaha menciptakan citra semu nilai-nilai universal. Hasilnya, meskipun kalah, Abrams berhasil meraup suara tertinggi dibandingkan kandidat Partai Demokrat mana pun yang pernah mencalonkan diri di kandang Republik tersebut. Ini persis karena Abrams memainkan kartu politik identitas secara berkualitas.

Sementara itu, survei tiga ilmuwan politik Sides, Tesley, dan Vavreck menguatkan bahwa kebanyakan rakyat AS (88 persen) menempatkan politik identitas di jantung doktrin politik mereka. Artinya, politik identitas dianggap lumrah oleh warga AS dan tidak akan memecah-belah bangsa seperti diyakini Fukuyama.

Hanya saja, politik identitas menjadi masalah besar bagi demokrasi AS ketika Donald Trump memenangi pilpres 2016. Pasalnya, merujuk analisa William Liddle (Dua Negeri Empat Pemimpin, Penerbit Kompas, 2021), Trump meraih kemenangan itu lewat cara menghubungkan  kegeraman ekonomi orang kulit menengah ke bawah di kota kecil dan pedesaan dengan prasangka ras, khususnya dengan keyakinan bahwa kemunduran mereka merupakan akibat dari kemajuan orang Amerika-Afrika dan Hispanik. Alhasil, politik identitas menjadi sangat berbahaya apabila dikaitkan dengan populisme, yaitu paha, yang mengobarkan narasi ketidakadilan melalui prasangka negatif terhadap identitas lain.

Baca Juga: Maraknya Politik Uang Bukti Parpol Gagal Lahirkan Kader Berkualitas

Politik perangkulan

Berdasarkan tilikan teoretis di atas, politik identitas di Indonesia, katakanlah politik identitas Islam, sebenarnya tidak perlu ditakuti. Bahkan, ia perlu diterima dalam kerangka politik perangkulan atau politics of engagement (Sunaryo, Perihal Keadilan, Penerbit Kompas, 2021). Inilah politik yang akan menciptakan tatanan politik lebih baik karena mampu mengakomodasi aspirasi kelompok keagamaan sehingga memiliki kesamaan hak dengan aspirasi politik sekularistis untuk berkontribusi pada masalah-masalah publik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat