kievskiy.org

Politik No Baper, Penting Diterapkan jelang Pemilu 2024

Ilustrasi politik no baper untuk Pemilu 2024.
Ilustrasi politik no baper untuk Pemilu 2024. /Pixabay/Wokandapix

PIKIRAN RAKYAT – Pemilu 2024 semakin dekat. Nama-nama bakal Calon Presiden (Capres) yang diusung semakin pasti. Tiga besar nama yang paling dijagokan oleh koalisi partai-partai adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Mayoritas lembaga survei menempatkan ketiga nama tersebut di urutan teratas.

Artinya, kemungkinan besar Pilpres 2024 akan diisi oleh kontestasi tiga pasangan calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun secara teori bisa muncul empat paslon, tapi melihat dinamika yang ada, rasanya yang paling mungkin hanyalah dua atau tiga paslon. Secara pribadi saya berharap yang terjadi nanti adalah tiga paslon. Pasalnya, jika hanya dua paslon, potensi terjadinya polarisasi seperti Pileg 2014 dan 2019 dapat terulang kembali.

Memang, sebagian pengamat berpendapat bahwa peluang terjadinya pertarungan head to head Ganjar Pranowo vs Anies Baswedan tetap sangat besar. Jika tidak di putaran pertama, mungkin di putaran kedua. Maka, untuk meminimalisasi terjadinya polarisasi, baik polarisasi “ideologis” maupun polarisasi “logis”, salah satu faktornya adalah figur Cawapres dari kedua capres tersebut.

Sebagai contoh, seandainya Anies Baswedan memilih cawapres dari tokoh yang mewakili kaum oposisi Jokowi, kemungkinan paslon ini akan menjadi “common enemy” (musuh bersama) para mantan pendukung Jokowi yang beralih dukungan ke Ganjar Pranowo. “Dendam lama” akan bersemi kembali. Polarisasi antara kaum pro dan anti-Anies Baswedan akan semakin solid.

Baca Juga: Jokowi Disebut Tak Netral pada Pilpres 2024, Benny K Harman: di Dada Bapak, Melekat Lambang Presiden

Oleh karena itu, di atas kertas, secara sosiologis akan relatif lebih “aman” jika Anies Baswedan dipasangkan dengan tokoh di luar kelompok oposisi. Salah satu nama yang sudah mengerucut berdasar data lembaga survei adalah Khofifah Indar Parawansa. Jika ini terjadi, kemungkinan isu politik identitas akan lebih minor.

Demikian pula dengan cawapres Ganjar Pranowo. Akan lebih “aman” apabila ia dipasangkan dengan figur yang mewakili golongan religius. Meski boleh jadi berpeluang bernasib mirip dengan Jokowi yang memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya, namun setidaknya akan meminimalisasi kesan dominasi warna “merah” dari Ganjar Pranowo.

Sebetulnya, Ganjar Pranowo sudah memiliki “investasi kolaborasi” dengan sebagian warga NU mengingat wakilnya di Jawa Tengah berasal dari kalangan NU berpartai PPP, Taj Yasin, yang merupakan putra tokoh besar NU, KH. Maimoen Zubair. Tidak mengherankan PPP segera menyatakan dukungan terhadap Ganjar Pranowo begitu dideklarasikan oleh PDI-P. Saya meyakini skema memasangkan Ganjar Pranowo dengan tokoh “hijau” sudah dipikirkan matang oleh partai pengusungnya.

Dengan analisis demikian, dapat disimpulkan bahwa “penengah” dari dua figur capres Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan adalah tokoh golongan religius yang berlatar nahdliyyin. Secara tidak langsung, posisi tawar NU menjadi sangat besar memainkan peran sebagai intermediator. Meski Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, telah tegas menyatakan bahwa NU tidak berpolitik praktis, namun secara individual tokoh-tokohnya bakal mengambil peluang-peluang strategis yang tersedia di Pileg 2024.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat