kievskiy.org

Pemilu 2024: Bakal Banyak Pihak yang Bermain di Air Keruh, Indonesia Harus Dipimpin Jawara

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Arif Firmansyah

PIKIRAN RAKYAT - Tidak mudah memilih pemimpin idaman. Kriterianya berpotensi subjektif. Generasi Boomer  bisa berbeda dengan generasi X atau Y. Perbedaan agama pun bisa memunculkan kriteria berbeda.

Namun, kesamaan kepentingan bisa mengemas sosok pemimpin yang dipersepsikan idaman. Tinggal menyosialisasikan serta menginternalisasikan agar pemahaman dapat dibangun sama.

Tidak heran jika penyusunan bangunan persepsi sedang digalang. Pengelompokkan pun sudah dimulai dengan hadirnya sosok pemimpin yang akan memimpin negeri ini mulai tahun 2024.

Rakyat dalam berbagai generasi sedang diincar selera dan persepsinya agar bisa mendulang banyak suara. Hal yang mungkin perlu disadari, sopir yang akan dipilih harus membawa penumpang rakyat sampai kepada tujuan negeri yang adil dalam kesejahteraan dan sejahtera dalam keadilan.

Ilustrasi Pemilu.
Ilustrasi Pemilu.

Baca Juga: KPK Tidak Perlu Dibubarkan, Hanya Perlu Diganti Pemimpinnya dengan Orang Jujur

Ngigelkeun 

Bila Riggs (1992) menyebut adanya kelompok prismatic, maka pengelompokan bisa dilihat dari sisi ini. Tampaknya, kelompok prismatic atau transisional menjadi kelompok masyarakat yang mulai membengkak jumlahnya. Keputusannya sering berlatar belakang beragam kepentingan. Tidak heran jika kemudian potensi biaya politik untuk itu menjadi lebih besar. 

Kebutuhan biaya politik tidak serta merta dapat ditutupi oleh sosok yang ingin dipilih. Bisa jadi sejumlah sponsor bermunculan. Bisa jadi hal seperti itu politik utang budi bisa berkembang pascaterpilihnya pemimpin baru.

Boleh jadi hal seperti yang menjadi bibit buit atau penyebab korupsi politik seperti ditulis Mochtar Lubis (1985). Pemimpin akhirnya tersandera sehingga gejed alias kaku untuk mengoptimalisasikan pengabdiannya kepada rakyat banyak.

Kondisi di atas tidak dapat dimungkiri berpeluang terjadi dengan masih maraknya praktik korupsi yang menyeret pejabat publik. Boleh jadi disebabkan dirinya yang tersandera dengan sejumlah kepentingan yang mengantarkannya menjadi penguasa. Pemahaman dan pengalaman menghadapi sejumlah pihak bulus dengan tampilan tulus harus diperkuat agar tidak kabobodo tenjo. Bahkan, kemampuan untuk menyadarkan yang culas menjadi ikhlas harus bisa dikembangkan dalam dirinya, bukan sebaliknya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat