kievskiy.org

Capres 2024 Jangan Terjebak Populisme, Makanan dan Sekolah Gratis Tak Akan Selesaikan Kemiskinan

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Arif Firmansyah

PIKIRAN RAKYAT - Sejak tahun 1989-1991, Fukuyama dalam The New Identity Politics: Rightwing Populism and the Demand for Dignity menjelaskan bahwa kita hidup dalam tatanan internasional yang semakin liberal, tatanan yang memiliki komponen ekonomi berupa sistem perdagangan bebas: mobilitas barang, orang, jasa, ide, dan investasi yang melintasi batas-batas negara.

Selain itu, tatanan ini juga memiliki komponen politik yaitu kesuksesan aliansi AS di Eropa dan Asia. Bukti dari keberhasilan tatanan ini adalah meningkatnya jumlah negara demokrasi dari sekira 35 negara pada tahun 1970 hingga mencapai puncaknya pada tahun 2000 yaitu 115-120 negara.

Implikasinya, pada awal tahun 2000-an, output global ekonomi dunia meningkat empat kali lipat. Kondisi ekonomi menjadi lebih baik hampir di semua bidang, tidak hanya dalam hal pendapatan dan peningkatan kelas menengah di tempat-tempat seperti China dan India, tetapi juga dalam hal kualitas hidup. Misalnya, kesehatan anak ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi.

Namun, masih menurut Fukuyama, semua ini berbalik arah pada pertengahan hingga akhir tahun 2000-an dengan munculnya beberapa kekuatan otoriter yang sangat percaya diri dan tegas yakni Rusia dan China.

Baca Juga: Rekam Jejak Ganjar Pranowo, Menilik Perjalanannya dari Mahasiswa Sampai Gubernur Jawa Tengah

Pada saat yang sama, yang dianggap paling mengganggu dari fenomena ini, adalah munculnya populisme di negara-negara demokrasi, bahkan di dua negara demokrasi yang dianggap paling mapan di dunia seperti Inggris dan Amerika Serikat. Terpilihnya Donald Trump dalam Pemilu AS 2016 dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa menjadi fenomena awal populisme di era demokrasi liberal.

Tulisan ini bukan ingin membongkar populisme yang seolah menjadi anti-klimaks dari perkembangan demokrasi dunia, tetapi justru ingin mengingatkan bagaimana kita memitigasi hal ini, terutama menjelang Pemilu 2024.

Soalnya, pada tahun-tahun politik, biasanya muncul populisme yang ditandai salah satunya dengan menguatnya politik identitas dalam bentuk jargon-jargon populis yang berdimensi ekonomi dan politik.

Populisme dalam dimensi ekonomi misalnya, ditandai dengan hadirnya kandidat-kandidat populis yang menurut Fukuyama, “Seorang populis adalah seorang pemimpin yang mempromosikan kebijakan ekonomi atau kebijakan sosial yang populer dalam jangka pendek, tetapi membawa bencana dalam jangka panjang."

Baca Juga: Rekam Jejak Prabowo Subianto, dari Abdi Negara Menuju Dunia Politik

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat