kievskiy.org

Menakar Food Estate Seusai Debat Cawapres

 Presiden Jokowi saat menanam jagung di lokasi food estate bersam para petani di Kampung Wambes, Selasa 21 Maret 2023.
Presiden Jokowi saat menanam jagung di lokasi food estate bersam para petani di Kampung Wambes, Selasa 21 Maret 2023. /Antara/Ardiles Leloltery

PIKIRAN RAKYAT - Menyimak perdebatan calon wakil Presiden pada 21 Januari 2024 yang salah satunya bertemakan tentang isu pangan, terpapar jelas bahwa program pangan ke depan bertumpu pada food estate. Food estate adalah program yang digadang menjadi harapan untuk menjawab kebutuhan lahan pertanian yang terkonversi kian tinggi, menjadi harapan agar ketergantungan terhadap impor beras semakin rendah, dan menjadi harapan ketika fluktuasi harga pangan bergejolak. Pertanyaannya adalah benarkah food estate dapat kita harapkan?

Hal inilah yang harus dijawab lugas oleh pemerintah. Jika benar menjadi harapan mengapa proyek pembukaan lahan pertanian yang memakan biaya ratusan triliun rupiah tidak kunjung menjawab pertanyaan di atas? Salah satu alasan yang dikemukakan adalah perlu waktu dan adanya realokasi dana sehingga produktivitas hasil masih belum memenuhi harapan. Lalu, berapa produktivitas minimal untuk dapat dikatakan berhasil dan kapan harus mulai berproduksi.

Pada umumnya benar bahwa pencetakan sawah baru mengalami gejolak produktivitas yang rendah, akan tetapi hal ini akan membaik setelah pencetakan mengalami proses tapak bajak yang pada umumnya setelah berusia 5 tahun ke atas. Lalu apa sajakah kendala yang muncul dalam pengelolaan food estate sehingga walaupun ada yang telah berusia lebih dari lima tahun akan tetapi masih rendah produktivitasnya.

Menjawab pertanyaan ini, beberapa hal yang harus dinilai adalah satu, sudah benarkah penentuan lokasi lahan food estate. Kedua, benarkah tanaman yang direkomendasikan mampu memberikan produktivitas yang optimal. Ketiga, benarkah transisi sumber daya manusia dilakukan dengan benar dan bijak. Keempat, benarkah proyek ini menguntungkan bagi masyarakat baik secara ekonomi dan lingkungan.

Menjawab pertanyaan pertama, penilaian didasarkan pada sejauh mana sifat dan karakteristik lahan atau tanah mampu mendukung produktivitas tanaman. Sepanjang catatan penulis, salah satu lokasi penentuan lahan berada pada area pasang surut seperti di Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan. Pada karakteristik area pasang surut air laut, maka produktivitas tanaman sangat ditentukan oleh sejauh mana rehabilitasi terhadap irigasi mikro dapat dilakukan. Hal ini menjadi catatan mengapa nilai investasi demikian besar dilakukan pada proyek ini. Kedua, karakteristik area yang dimaksud, pada umumnya terdapat pirit pada lapisan tanah (top soil). Ini menjadi sumber kemasaman, jika pengolahan lahan dilakukan secara serampangan atau tanpa pengetahuan mendasar tentang hal ini. Penggunaan alat seperti traktor dan alat pertanian lainnya menjadi salah satu penyebab mengapa pirit teroksidasi. Pirit yang teroksidasi menjadi sumber kemasaman tanah, sehingga pH tanah menjadi sangat masam. Jika ini terjadi, sudah dapat dipastikan tanaman apa pun sulit beradaptasi atau berproduksi.

Pertanyaan kedua, tentang jenis tanaman. Berdasarkan catatan, food estate dialokasikan untuk tanaman padi, jagung, kentang, singkong, bawang merah, putih, dan jeruk. Ditinjau dari kebutuhan pangan, sudah selayaknya jenis tanaman harus ditinjau kembali sehingga sesuai untuk menjawab tantangan pangan. Sayangnya, masih saja terjadi ketidaksesuaian dengan tanaman yang dibutuhkan. Kedua, tanaman padi, jagung, dan singkong merupakan tanaman yang membutuhkan hara yang optimal. Sejauh ini, sumber hara atau pupuk dapat berasal dari tanah yang disebut kesuburan alami dan hara yang bersumber dari pupuk buatan yang disebut kesuburan buatan. Karakteristik tanah yang kesuburan alaminya rendah mengakibatkan input produksi berupa pupuk buatan harus ditambah sehingga membebani biaya produksi tanaman dan mengurangi keuntungan ekonomi.

Hal ini juga menjadi penyebab mengapa produktivitas rata-rata pada beberapa jenis tanaman food estate masih jauh di bawah produktivitas rata-rata secara nasional. Pertanyaannya, jika ini terus berlanjut sejauh manakah Negara mampu memberikan subsidi bagi proyek yang kurang menguntungkan.

Ketiga, transisi sumber daya manusia. Dengan contoh kasus di atas, sudahkah Kementerian/Lembaga Negara melakukan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan dengan benar, sedangkan tenaga penyuluh sangat minim. Fakta lain menunjukkan bahwa proses pengolahan lahan pada beberapa area dilakukan oleh aparat TNI yang belum tentu paham akan bagaimana mengolah lahan secara bijak dan benar. Kesalahan dalam pengolahan lahan berakibat fatal pada kemasaman tanah yang berujung pada minimnya produktivitas.

Keempat, apakah food estate menguntungkan. Penilaian keuntungan tentunya bersumber pada sejauh mana produktivitas tanaman dapat dihasilkan. Sayangnya, produktivitas masih jauh di bawah rata-rata. Dengan kondisi seperti ini, sudah pasti proyek ini tidak menguntungkan secara ekonomi. Demikian pula secara ekologi, terjadinya penambahan deforestasi akibat pembukaan lahan food estate. Jika seperti ini, maka mampukah Negara membiayai proyek strategis secara berkelanjutan atau justru sebaliknya, melakukan realokasi dana guna mempertahankan lahan pertanian yang terancam konversi lahan pertanian. (Marenda Ishak S - Dosen Fakultas Pertanian Unpad).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat