kievskiy.org

Jokowi Ramai Dikritik, Menolak Suara Ilmuwan Awal Kehancuran Bangsa?

Ilustrasi Pemilu 2024.
Ilustrasi Pemilu 2024. /Antara/Arif Firmansyah

PIKIRAN RAKYAT - Belakangan ini para ilmuwan, guru besar dan civitas akademika menyatakan teguran keras pada pemerintahan Jokowi karena dinilai telah melanggar etika dalam demokrasi. Kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi dituangkan pertama kali dalam 'Petisi Bulak Sumur' oleh akademisi Universitas Gadjah Mada. Petisi UGM ini disambut oleh gelombang petisi lain dari puluhan kampus seluruh negeri.

Teguran para akademisi berpusat pada etika keadilan dalam pemilu, karena dalam pandangan mereka proses Pemilu 2024 ini tidak adil sejak awal. Sekelompok netizen pro pemerintahan mengabaikan teguran para ilmuwan dan akademisi dari kampus, dan rupanya netizen tidak menerima teguran, mereka menuding balik akademisi ditunggangi unsur politik karena haus jabatan atau meminta jatah di pemerintahan selanjutnya dan dengan berani simpatisan balik bertanya “apa kontribusi para ilmuwan dan guru besar bagi Indonesia?”, bagi saya pertanyaan terakhir keilmuan para akademisi diragukan, menandakan ideologi demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Kita hampir lupa juga bahwa para akademisi memiliki Tri Dharma perguruan tinggi yang poin ketiganya adalah pengabdian kepada masyarakat. Pertanyaan dan pernyataan berani netizen pro pemerintahan bisa dimaknai bahwa para akademisi sudah jauh dari masyarakat, akademisi terlalu nyaman duduk di menara gading bernama kampus. Rasanya sudah lama sekali akademisi terutama para guru besar tidak menjadi kelompok penekan bagi penguasa seperti ini.

Saat tulisan ini dibuat sebagian mahasiswa protes turun kejalan, menuntut pemakzulan Jokowi dari posisi presiden, selain itu mahasiswa mengecam tidak akan memilih partai politik yang tidak mendukung pemakzulan, saya berharap ini tidak berbuntut seperti kejadian tahun 2020 kembali, bentrok besar yang cukup membuat oleng pemerintahan Jokowi.

Membedakan Akademisi dan Buzzer

Buzzer media sosial adalah tudingan netizen kepada para akademisi yang menegur pemerintahan Jokowi, tudingan bahwa mereka sudah terlambat menegur, karena waktunya memang sudah mendekati pilpres, berujung para akademisi dicibiri di media sosial oleh para netizen Indonesia.

Saya terkesima betapa cepatnya gelombang petisi ini memuncak, saya tambah terkesima lagi saat para begawan filsafat dari STF Driyakara ikut dalam petisi ini, membayangkan para begawan filsafat ini turun kebawah, dalam banalnya politik praktis, rupanya bagi netizen melihat protes para filsuf pun tidak berpengaruh, mereka masih merasa para filsuf sekalipun ditunggangi muatan politik dan meminta jabatan.

Media sosial merupakan ruang keahlian para buzzer, akademisi tidak mendapat kesempatan mempertahankan argumentasinya dalam media sosial. Walau para akademisi terlatih untuk mempertahankan argumentasi dalam dunia akademisnya, tetapi untuk kali ini di media sosial jelas pemenangnya adalah para netizen.

Akademisi adalah manusia yang dididik agar penuh perhitungan dan keragu-raguan intelektual, bertahun-tahun mereka digembleng untuk berpikir matang sebelum mengemukakan pendapat, saat sekarang mereka tidak ragu lagi menegur pemerintahan Jokowi dalam bentuk petisi, artinya teguran ini sudah penuh perhitungan matang.

Melompat ke definisi buzzer media sosial, mereka adalah seseorang atau kelompok yang dibayar untuk menanggapi sebuah issue dalam media sosial, buzzer media sosial di Indonesia memiliki kredibilitas kurang baik jika dikaitkan dengan politik, belajar dari tahun politik 2019, di Indonesia terjadi perang media sosial yang melibatkan para buzzer ini.

Jelas kaitannya soal kredibilitas para akademisi adalah orang-orang yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, sedangkan buzzer bisa sembarang orang saja, selama sigap menanggapi issue media sosial dan barang tentu jika ada bayarannya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat