kievskiy.org

Beda Arah Kebijakan Luar Negeri para Capres, Politik Tetangga Baik hingga Memaknai Kembali Bebas Aktif

Ilustrasi bendera negara-negara ASEAN./
Ilustrasi bendera negara-negara ASEAN./ /Pixabay/nguyenthuantien Pixabay/nguyenthuantien

PIKIRAN RAKYAT - Kurang dari dua pekan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan atau politik luar negeri (polugri) ketika terpilih nanti.

Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pertanyaan mengenai polugri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan China, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.

Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohammad Hatta.

Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali.

Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan China dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.

Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri atau polugri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?

Anies: mengakhiri pragmatisme

Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritik pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.

Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.

Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat