kievskiy.org

Gaya dan Gimik Politik: Analisis Komunikasi Nonverbal dalam Debat Pilpres 2024

Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo dalam debat capres pada Minggu, 4 Februari 2024.
Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo dalam debat capres pada Minggu, 4 Februari 2024. /Antara/M Risyal Hidayat

PIKIRAN RAKYAT - Debat pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2024 usai sudah. Sesi terakhir berlangsung pada Minggu, 4 Februari 2024. Sekilas kita akan menganalisisnya berdasarkan perspektif komunikasi nonverbal. Namun, meski secara konseptual komunikasi nonverbal terpisah dari komunikasi verbal (ujaran), dalam praktik keduanya berkelindan.

Dalam debat pamungkas, Anies Baswedan tetap tampil tenang dan percaya diri, Ganjar Pranowo tetap penuh semangat. Hanya Prabowo Subianto yang mengubah strateginya. Cara bicaranya lebih datar, pun ekspresi wajahnya, dengan bahasa tubuh yang cenderung pasif, intonasi suara lebih terjaga, tidak berapi-api seperti dalam debat sebelumnya.

Kita menilai seseorang tidak hanya lewat bahasa verbalnya: apakah sopan, kasar, intelektual, kampungan, mampu berbahasa asing, dan sebagainya, tetapi juga lewat perilaku nonverbalnya, seperti ekspresi wajah, tatapan mata dan durasinya, isyarat tangan, postur tubuh, busana yang dikenakan, atau gestur lainnya. Pentingnya pesan nonverbal dilukiskan frasa, “Bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya.” (Wenburg & Wilmot, 1973). Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mendeteksi emosi seseorang, apakah ia sedang bahagia, marah, kesal, bingung, atau sedih.

Erving Goffman (1959) menyebut komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal sebagai expression given dan expression given off. Yang pertama disengaja untuk menyampaikan pesan, yang kedua tidak disengaja , yang mungkin memberi makna berbeda dengan pesan verbal. Goffman (1963) mengatakan, “Meski seseorang dapat berhenti berbicara, ia tak dapat berhenti berkomunikasi lewat idiom tubuh; ia mesti menyatakan hal yang benar atau salah. Ia tidak dapat tidak menyatakan sesuatu. Secara paradoks, cara ia memberikan informasi minimal mengenai dirinya adalah menyesuaikan diri dan bertindak sebagaimana orang-orang sejenis itu diharapkan untuk bertindak."

Wajah (face) khususnya punya potensi tertinggi untuk memberikan pesan emosional. Stella Ting-Toomey (1988) menyebut cara kerjanya sebagai facework. Mekanisme wajah ini dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak kredibilitas diri sendiri, membela atau mendukung orang lain atau melecehkan, mengancam atau menyerang orang lain, sebagai tanda sopan, hormat atau kagum kepada orang lain.

Dalam sesi ketiga debat capres pada 7 Januari 2024, Prabowo sempat bertolak pinggang usai menginterupsi Anies yang ia anggap keliru menyebutkan data kepemilikan tanahnya di Indonesia. Lewat ekspresi wajah yang serasi dengan intonasi suaranya, Ganjar mengajak Anies untuk memberikan penilaian rendah terhadap kinerja Kementerian Pertahanan yang dipimpin Prabowo.

Solidaritas serupa ditunjukkan Anies dan Ganjar lewat facework mereka dalam debat pamungkas saat mereka mengkritik bansos dari pemerintah yang mereka anggap punya kepentingan politik untuk mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Gimik

Dengan mengamati perilaku nonverbal seseorang, terutama intonasi suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuhnya, kita bisa mengetahui apakah orang itu asertif atau agresif. Implikasinya, perilaku yang lazim dikaitkan dengan istilah “gimik” dalam Pilpres 2024 ini bisa menguntungkan seorang kandidat politik atau merugikannya.

Contoh yang merugikan adalah gimik Gibran saat debat sesi keempat antar cawapres 21 Januari 2024. Ia celingak-celinguk sambil berkata “Saya lagi mencari jawabannya Prof Mahfud. Saya nyari-nyari di mana ini jawabannya. Kok ngak ketemu jawabannya."

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat