kievskiy.org

Agama Bukan Topeng, Nilai Keagamaan Harusnya Melekat secara Alami Bukan Saat Ramadan Saja

Ilustrasi berdoa.
Ilustrasi berdoa. /Pexels/Alena Darmel

PIKIRAN RAKYAT - Ramadan merupakan bulan yang dinantikan umat Muslim sedunia. Tak hanya momentum untuk menjalankan ibadah, bulan puasa ini juga menjadi waktu untuk meningkatkan ketakwaan. Dalam suasana khidmat, banyak acara dan kegiatan yang awalnya bersifat umum, mendadak bernuansa religi. Fenomena ini menarik untuk dikaji, sebagai manifestasi dari semangat keagamaan yang menggelora di kalangan umat.

Contohnya program hiburan di televisi. Memasuki Ramadan, acara-acara tersebut mengalami transformasi. Tema jadi bernuansa spiritual, dengan menampilkan konten-konten penuh pesan moral. Konkretnya dapat dilihat dari beberapa reality show populer di Indonesia. Adegan lawak diganti pembacaan ayat suci Al-Qur'an, ceramah singkat, dan diskusi tentang nilai keagamaan. Penampilan para selebritas pun lebih sopan dan menutup aurat.

Fenomena serupa juga terjadi pada acara-acara musik, baik yang digelar di ruang publik maupun di televisi. Musisi-musisi populer menampilkan lagu bertemakan ketuhanan, atau setidaknya melantunkan lirik-lirik yang berisi nasihat mendekatkan diri kepada-Nya.

Fenomena ini juga menjalar ke dunia maya. Seketika media sosial dipenuhi unggahan yang saleh. Pengguna media sosial, baik selebritis maupun masyarakat umum, seakan berlomba membagikan kutipan hadist dan ayat suci Al-Qur'an serta ajakan untuk meningkatkan ibadah, bahkan tak jarang menunjukkan video aksi kebaikan mereka, seperti membantu fakir miskin dan menghadiri pengajian ustaz-ustaz kondang.

Selain di dunia hiburan dan media sosial, fenomena ini sangat terlihat di sektor bisnis dan pemasaran. Sebagai contoh, sebuah perusahaan yang biasa mengiklankan produk dengan gaya hidup santai, berubah suasana berbuka puasa bersama. Tidak segan pula menampilkan simbol-simbol keagamaan seperti masjid atau lantunan azan dalam iklan-iklannya.

Bukan Topeng

Meski fenomena "religi mendadak" di bulan Ramadan ini patut diapresiasi, tetapi kita perlu memandangnya dengan kritis. Mengubah nuansa acara dan kegiatan menjadi religius hanya pada momen-momen tertentu dapat dianggap sikap yang cenderung hipokrit. Sebagaimana ditegaskan Buya Hamka, "Agama bukan topeng yang dipakai di waktu-waktu tertentu saja, melainkan pemandu kehidupan yang harus menjiwai setiap langkah kita."

Senada dengan itu, Raudal Tanjung Banua, tokoh sastra dan pengamat sosial budaya, menyatakan "Perubahan ini terkadang terkesan dipaksakan dan hanya sebagai kamuflase semata. Seharusnya nilai-nilai keagamaan itu tertanam secara alami dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya muncul sesaat saat Ramadan tiba."

Transformasi ke arah religi ini berpotensi menimbulkan nilai keagamaan yang dangkal dan formalistik. Di sisi lain, budaya 'religi mendadak' juga dapat memberi kesan dikotomi yang kaku antara wilayah sakral dan profan dalam kehidupan. Padahal, dalam pandangan Islam, segala aktivitas kehidupan dapat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat dan cara yang benar.

Fenomena ini juga dapat memunculkan pertanyaan tentang motivasi dan keikhlasan di balik perubahan itu. Apakah pergeseran nuansa tersebut didasari keinginan tulus untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau justru didorong motif lain seperti mencari perhatian, popularitas, atau sekadar tren?

Dalam pandangan Raudal Tanjung Banua, "Jika hanya mengikuti tren tanpa keikhlasan, maka nilai spiritualitasnya akan berkurang." Keikhlasan niat ibadah merupakan pondasi utama dalam ajaran Islam. Tanpa keikhlasan, amalan-amalan keagamaan akan menjadi hampa makna.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat