kievskiy.org

Malam Lailatul Qadar dan Teologi Pembebasan Kemiskinan

Ilustrasi malam Lailatul Qadar.
Ilustrasi malam Lailatul Qadar. /Pexels/Piccinng

PIKIRAN RAKYAT - Menarik untuk ditelaah lebih mendalam tulisan Jalaluddin Rakhmat “Teologi Kemiskinan dan Pemiskinan Teologi”, kenapa? Paling tidak ada beberapa argumen yang bisa disodorkan di sini; Pertama, pemahaman teologis kita bahwa kemiskinan adalah taqdir Tuhan. Ini misalnya dikemukakan dalam sebuah seminar tentang “Bagaimana Pandangan Islam tentang Kemiskinan?”, beberapa jawaban yang disodorkan antara lain bahwa kemiskinan adalah ketentuan Allah, kemiskinan adalah waktu yang dipergilirkan oleh Allah untuk mereka, kemiskinan jangan dibahas dan dipikirkan untuk mengatasinya. Yang kita pikirkan adalah bagaimana kita menanamkan kepada mereka untuk bersedia menerima kemiskinan yang mereka alami.

Kedua, Pemiskinan umat dan pembenarannya dengan lebih mengutamakan ibadah spiritual dan Ketiga, Pemiskinan umat secara struktural secara sengaja dan dilanggengkan untuk kepentingan politik penguasa dengan meninabobokannya supaya mereka mereasa tenteram dengan kemiskinannya dan tidak melakukan pemberontakan.

Bulan Ramadhan yang salah satu kemuliaannya karena diturunkannya al-Quran lalu berkonsekuensi adanya Lailatul Qadar lalu malaikat turun pada malam itu.

Pandangan kita selama ini selalu mengisi masjid dengan dzikir, ruku’ dan sujud serta ibadah ritual lainnya di hadapan Allah supaya dikunjungi malaikat dan menyambut salamnya. Padahal banyak keterangan dan hadits-hadits yang mengatakan bahwa para malaikat itu akan datang kepada mereka yang melakukan kegiatan sosial; membantu meringankan penduduk dari kemiskinan, mengulurkan ‘tangan-tangan kasih’ dalam kesulitan mereka, menyeka air mata mereka karena mati pelan-pelan tidak memiliki biaya berobat ke rumah sakit, atau mengulurkan tangannya meringankan beban anak-anak mereka agar bisa sekolah dan kuliah.

Baca Juga: Puasa Ramadan: Menapaki Jalan Takwa dan Kebenaran

Lailatul Qadar; Turun Sekali atau Setiap Tahun?

Kehadiran Lailatul Qadar pada pandangan Quraish Shihab dalam buku “Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan” dengan bersandarkan pada banyak hadits Nabi diharapkan kehadirannya pada malam-malam ganjil pertigaan terakhir dari bulan Ramadhan. Qadar bermakna “mulia”. Kemuliaannya antara lain karena turunnya al-Quran pada malam itu. Qadar juga bermakna “pengaturan” karena ketika itu Allah mengatur khiththah dan strategi nabiNya untuk mengajak manusia kepada ajaran yang benar. Qadar juga berarti “ketetapan” karena pada malam itu terjadi ketetapan bagi perjalanan hidup makhluk (manusia).

Persoalannya, apakah malam kemuliaan itu turun hanya sekali saja atau setiap tahun?

Dalam buku “Membumikan al-Quran”, Quraish Shihab menjelaskan akar persoalan ini. Bagi Ibnu Hajar malam Qadar hanya turun sekali, ia menjelaskan bahwa penganut paham ini mendasarinya bahwa nabi pernah bersabda bahwa malam Qadar sudah tidak akan datang lagi. Dari al-Quran juga kita dapatkan informasi bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada lailatul Qadar, dan umat meyakini bahwa al-Quran telah sempurna dan wahyu tidak akan turun lagi sepeninggal nabi, maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu tidak akan hadir lagi. Kemuliaan malam itu karena ia terpilih menjadi waktu turunnya al-Quran.

Baca Juga: Krisis Kepercayaan Publik terhadap KPK: Apakah Akan Berujung pada Pemulihan atau Keterpurukan?

Sedangkan yang lain berpandangan, memang al-Quran turun lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Qadar. Tetapi tidak berarti kemuliaannya hanya disebabkan karena al-Quran turun ketika itu, tetapi karena adanya factor intern pada malam itu sendiri. Apalagi pandangan itu juga diperkuat dengan penggunaan kata kerja mudhari’ (present tense) pada ayat, “tanazzal al-malaikat wa al-ruh, kata tanazzal adalah bentuk yang mengandung makna kesinambungan, atau terjadinay sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat