kievskiy.org

Singapura Berganti Penguasa, Demokrasi Indonesia Agak Skeptis

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. /Reuters/Evelyn Hockstein

PIKIRAN RAKYAT - Pertengahan bulan depan, di negara tetangga kita Singapura, akan berlangsung pergantian kekuasaan. Setelah berkuasa selama 12 tahun Lee Hsien Loong akan mundur. Dia sudah merencanakan soal ini sejak lama. Awalnya dia akan menyerahkan kekuasaan tahun 2022. Namun, terjadinya Covid-19 membuat dia mengurungkan niatnya. Dengan mundurnya Lee Hsien Loong, maka berakhirlah kekuasaan dinasti Lee Kuan Yew. Jabatan PM Singapura selanjutnya akan dipercayakan kepada Lawrence Wong, profesional muda yang telah menunjukkan kerja yang fenomenal ketika menangani Covid-19, sehingga jatuhnya korban yang lebih banyak dapat dicegah.

Peristiwa pergantian kekuasaan di Singapura tersebut menarik untuk kita amati. Antara lain sebagai proses pembelajaran berdemokrasi, salah satunya adalah menyelenggarakan pergantian kekuasaan sebagai keniscayaan. Lee Kuan Yew telah berhasil meletakkan dasar-dasar demokrasi termasuk dalam masalah etika berpolitik.

Sejak awal, pendiri Republik Singapura ini sudah sangat menyadari bahwa negara baru yang didirikannya menghadapi potensi perpecahan yang cukup berat. Tiga etnis yang menjadi warga Singapura, yakni etnis Melayu, Cina dan India jumlahnya relatif berimbang. Jika kekuasaan tidak dilaksanakan dengan hati-hati, maka akan menimbulkan ledakan sosial yang berbahaya, karena kaitan etnis dengan kekuasaan biasanya bersifat emosional.

Lee senior juga, sebagai orang yang menyelesaikan pendidikan di Inggris paham benar bahwa negaranya tidak memiliki potensi alam yang besar berbeda dengan dua tetangga terdekatnya yakni Malaysia dan Indonesia. Oleh karena itu, Lee senior memberlakukan disiplin yang sangat-sangat ketat. Kerja keras, tepat waktu serta menunjukkan kepada dunia bahwa Singapura dapat dipercaya.

Dengan sepenuhnya dukungan dari pihak Inggris yang pernah sukses mengembangkan Hongkong di tengah kekuasaan politik komunis yang kejam, Singapura terus melaju dengan cepat. Kita, sebagai salah satu tetangga terdekat sering bertanya dan merasa heran mengapa Negeri Singa tersebut mampu dengan cepat tumbuh menjadi negara yang sangat maju dan dipercaya oleh dunia. Harus diakui meski kita memiliki potensi alam yang luar biasa, tapi justru Singapura yang sudah berada jauh di depan.

Karena bangsa kita juga tidak lama lagi akan mengalami pergantian pimpinan nasional, tampaknya tidak ada salahnya jika kita berkaca ke arah negara tetangga tersebut. Masalahnya, sudah beberapa kali terjadi alih kekuasaan di negara kita menimbulkan kegaduhan politik dan sosial. Begitu yang dialami Soekarno, begitu pula yang menimpa Suharto. Kini kegaduhan yang hampir mirip ditujukan kepada sosok Jokowi.

Salah satu keberhasilan pemerintah di Singapura adalah menciptakan iklim stabilitas serta mereduksi potensi konflik. Kita juga pernah menomorsatukan stabilitas tapi justru di ujungnya memicu terjadinya konflik politik yang parah.

Aparat yang Teladan

Tampaknya mengapa stabilitas di Singapura bisa tetap terjaga karena aparat dan lembaga pemerintahan berhasil menunjukkan keteladanan. Pasti ada ketidakpuasan yang dirasakan warga. Namun, warga dapat menerimanya sebagai ongkos kesejahteraan yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Justru hal inilah yang belum tampak di negara kita. Jika pemerintahan di Singapura memilih demokrasi terbatas sambil menyertakan keteladanan secara konsisten, penyelenggaraan pemerintahan di negeri kita hampir selalu tidak mampu melepaskan jerat arogansi.

Pemerintahan Prabowo-Gibran nanti sebaiknya menekankan penyelenggaraan kekuasaan yang menomorsatukan pentingnya keteladanan. Hujatan dari berbagai pihak terhadap pasangan ini dipastikan tidak akan dapat segera dihilangkan. Rasa kecewa yang begitu luas tentu akan kembali membuncah setiap ada kesempatan, salah satunya adalah perasaan terpinggirkan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat