kievskiy.org

Komnas HAM: Penerbitan Perppu Cipta Kerja Bertentangan dengan Putusan MK

Ilustrasi produk hukum Perppu Cipta Kerja.
Ilustrasi produk hukum Perppu Cipta Kerja. /Pixabay/succo Pixabay/succo

PIKIRAN RAKYAT - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menyatakan penerbitan ‎Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Putusan itu meminta supaya pemerintah melakukan perbaikan dalam proses penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja dengan memenuhi hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna.

Hal tersebut mengemuka dalam Keterangan Pers Nomor: 03/HM.00/I/2023‎ pada Jumat 13 Januari 2023. Perppu‎ yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pun dinilai tertutup dan tiba-tiba. Masyarakat baru mendapatkan informasi atas peraturan tersebut pada hari yang sama saat Presiden mengumumkannya kepada publik.

Dalam Pasal 5 huruf g UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 13/2022, ditegaskan bahwa dalam setiap pembentukan perundang-undangan, dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, harus memenuhi asas keterbukaan yakni bersifat transparan dan memberikan akses bagi masyarakat untuk memberikan masukan.   

Baca Juga: Menteri Investasi Soal Polemik Perppu Cipta Kerja: Hidup Tak Bisa Memuaskan 100 Persen Manusia!

Dalam perspektif HAM, asas keterbukaan publik termasuk di dalamnya hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi publik  wajib dihormati dan dipenuhi oleh negara. Hak-hak dimaksud dijamin dalam Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (3) UUD RI 1945 jo. Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat 2, dan Bab Partisipasi Masyarakat UU HAM yang dimuat dari Pasal 100 hingga Pasal 103.

Dalam perspektif formal, Perppu harus ditetapkan berdasarkan kegentingan yang memaksa. Makna kegentingan yang memaksa memiliki tiga parameter berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.   

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat