kievskiy.org

Kepemimpinan Nabi Ibrahim: Teladan Pemimpin yang Mengedepankan Moralitas dan Rela Berkorban

Ilustrasi jemaah di Mekkah, Arab Saudi.
Ilustrasi jemaah di Mekkah, Arab Saudi. /Pikiran Rakyat/Eva Fahas

PIKIRAN RAKYAT - Sebentar lagi kita beridul adha, untuk kembali menegasikan bahwa kita adalah ummat yang satu. Ummat yang diikat dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam, persaudaraan kita juga 'laksana saudara sekandung' karena kita diikat dengan iman yang sama. Itulah kenapa Kata Prof. Quraish Shihab dalam al-Quran disebut dengan innama al-mukminuna ikhwatun. Ikhwah bermakna saudara sekandung. Duka ummat Islam dimanapun adalah duka kita, bahagianya mereka juga bahagianya kita.

Dalam konteks demikian, agaknya kita menemukan momentum yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, dengan berakidah yang benar dan merealisasikan akidah itu dalam  bentuk 'pengorbanan' apapun yang  kita miliki kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan—dengan tanpa melihat  paham dan golongan mereka. Inilah yang diperlihatkan oleh panutan kita, rasulullah saw yang tidak hanya menyampaikan risalah, tetapi juga mengimplementasikannya dalam fragmentasi kehidupan keseharian dan ini pula yang diperlihatkan oleh khalilullah, Nabi Ibrahim as yang konsisten untuk mencintai Allah dan segala perintahnya di atas segalanya—termasuk kebahagiaannya bersama keluarga—yang bersifat  semu dan sementara.

Pemimpin Sejati; Bukan Lipservice

Memimpin itu menderita, memimpin itu tanggungjawab, memimpin itu memotivasi, demikian yang ditulis oleh Alfan Alfian. Tentu banyak lagi sederet kalimat untuk menjelaskan tentang makna kepemimpinan. Mungkin juga ada yang menulis pemimpin sama dengan kekuasaan yakni  sebuah kesempatan dan peluang untuk memperkaya diri dan kroninya. Atau mungkin juga ada yang ‘aneh’—di zaman Kalatida, zaman edan seperti yang disampaikan Ronggo Warsito—masih ada yang mengatakan bahwa kekuasaan bukanlah segalanya, kekuasaan itu intinya adalah mensejahterakan.

Baca Juga: Jadwal Persib vs Madura United di Liga 1, Penonton yang Bawa Flare ke Stadion Bakal Diblokir

Yang pasti pendekar sejati bukanlah pemimpin berkelas salon, yang merengek pada dan takut kehilangan kekuasaan, sehingga begitu masa jabatannya habis ingin mencari penggantinya yang diharapkan bisa meneruskan keinginannya atau untuk menutupi ‘aib’ selama kepemimpinannya.

Pemimpin otentik tidak perlu bedak dan gincu. Ia tidak takut keramain kerumunan, dan juga pada kesepian dan kesendirian. Ia tidak perlu polesan yang terjebak pada lipservice. Pemimpin merubah kerumunan menjadi barisan, jamaah, para pengikut yang visioner, para kader yang mumpuni. 

Di wilayah dan segmen apa saja—termasuk politik—pemimpin sejati tetap sejati, karakternya tidak akan lentur oleh godaan. Pemimpin sejati tidak mengandalkan kesombongan untuk menutupi kelemahan, ingin dilayani, antikritik, bermental feodal untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara. Kalau ini yang dilakukan tidak hanya Petruk saja dalam kisah inovasi pewayangan, bisa jadi Raja. Tapi meminjam bahasa Nurcholish Madjid, karena kita telah mengalami demokrasi setan gundul pun, kalau jadi Presiden/gubernur/bupati/camat/kuwu pilihan rakyat, apa mau dikata.

Baca Juga: Alumni Al Zaytun Gagap Ditanya Fardhu Wudhu, 11 Tahun Nyantri Sindir Tudingan Ajaran Menyimpang

Persoalannya, masih adakah pemimpin sejati, ketika di Indonesia misalnya untuk memilih seorang pemimpin masuk kategori highcost? Terlalu mahal, sehingga banyak di antara pemimpin kita yang mengalami disorientasi nilai, ujung akhirnya korupsi dan menafi’kan perjuangan untuk mensejahterakan rakyatnya. Gelap mata dan kehilangan keteladan, lupa bahwa ia seorang pemimpin yang akan menjadi prototype dan akan diadaptasi perilakunya oleh para pengikutnya.

Kepemimpinan Nabi Ibrahim as; Sebuah Prototype

Adalah hal yang tepat di momentum Iedul Adha ini kita mencoba untuk mentadabburi, melakukan refleksi dan meneladani apa yang sudah difragmentasikan oleh Nabi Ibrahim sebagai seorang pemimpin dan keluarganya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat