kievskiy.org

Aksiologi Wukuf dalam Kehidupan

Jemaah sedang melaksanakan wukuf di Arafah.
Jemaah sedang melaksanakan wukuf di Arafah. /Pikiran Rakyat/Moch Arief Gunawan

PIKIRAN RAKYAT - Meminjam istilah Kunyowijoyo (1991), keimanan dan ibadah yang kita lakukan harus bersifat aksiologis, berujung pada aksi, berdampak terhadap meningkatnya kebaikan diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan sekitarnya. Agar keimanan dan ibadah yang kita lakukan benar-benar bermuara pada aksi nyata, setiap dari kita harus mampu melakukan sintetik-analitik terhadap ibadah yang kita lakukan.

Secara sederhana, sintetik adalah meyakini bahwa suatu ibadah yang kita lakukan berlandaskan kepada keimanan atas perintah Allah dan Rasul-Nya, berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan teladan dari Rasulullah SAW. Sedangkan analitik merupakan kemampuan mengambil makna, nilai inti, atau hikmah dari setiap ibadah untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata.

Hal tersebut telah disimbolkan susunan surat-surat dalam Al-Qur’an yang dimulai dengan kalimat basmallah, menyebut nama Allah dalam surat Al-Fatihah, dan berakhir dengan surat An-Nas (manusia). Karenanya, jika ibadah yang kita laksanakan tidak melahirkan semakin meningkatnya nilai-nilai mulia kemanusiaan dan moral yang baik, hakikat dari pelaksanaannya patut kita pertanyakan, atau setidak-tidaknya hal ini bermakna bahwa kita belum memahami hakikat dari ibadah yang telah kita laksanakan.

Baca Juga: Priangan Setelah Hampir Dua Abad

Dari sekian banyak ibadah yang kita lakukan, prosesi wukuf dalam ibadah haji merupakan ibadah yang memerlukan pengorbanan besar, baik secara politis (kebijakan hubungan antar negara), fisik, psikis, maupun finansial. Sangatlah disayangkan jika prosesi wukuf yang menelan biaya mahal ini hanya dipahami secara sintetik belaka, hanya berdampak terhadap kenikmatan ibadah secara individual tanpa menghasilkan sikap analitik, tidak berdampak terhadap meningkatnya kualitas akhlak dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Secara fikih, wukuf merupakan bagian penting dari ibadah haji dan wajib hukumnya. Para ulama fikih sepakat, tidak sah seseorang yang melaksanakan ibadah haji tanpa melaksanakan prosesi wukuf di Arafah. Karenanya, meskipun hanya sebentar, setiap jemaah haji wajib melaksanakan prosesi wukuf.

Inti dari wukuf adalah diam. Namun demikian, dari prosesi diam inilah seorang yang melakukan prosesi wukuf harus mampu melakukan kontemplasi, melakukan perenungan atas perilakunya selama menjalani kehidupan, baik perilaku terhadap Allah dan Rasul-Nya, perilaku terhadap dirinya sendiri, maupun perilaku terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya.

Baca Juga: HANI 2023: Pelayanan Prima Pelanggan vs Pemberantasan Calo

Sebagaimana digariskan dalam Q.S. Al Baqarah: 199, kontemplasi utama yang harus dilakukan pada saat prosesi wukuf adalah merenungi, menyadari akan kekurangan dan kelemahan diri serta beragam dosa yang telah dilakukan selama menjalani kehidupan. Istighfar atau memohon ampun merupakan langkah spiritual dalam mengakui atas segala dosa, kelemahan, dan kekurangan diri.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat