kievskiy.org

Indonesia, Indonesier: Kala Orang Indonesia Menolak Istilah Inlander

PIKIRAN RAKYAT - Di masa pemerintah kolonial Belanda, penyebutan dan penerapan nama Indonesia atau Indonesier memantik polemik. Butuh perjuangan agar nama atau istilah tersebut bisa dilekatkan pada wilayah yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda. Lebih jauh lagi, nama itu jadi bagian identitas kaum pergerakan nasional.

Perdebatan muncul di sejumlah surat kabar tempo dulu. Musababnya bermula dari tulisan H.C. Zentgraaf di koran berbahasa Belanda, Java Bode menanggapi aksi Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB) yang ingin menggunakan nama Indonesia dalam surat atau undang-undang. 

Dengan memakai istilah Indonesia dan Indonesier, orang-orang bumiputra atau warga lokal tak lagi menggunakan nama lama, yakni Inlander. Menurut Zentgraaf, masih ada nama Hindia Belanda yang menunjukkan wilayah Hindia masih diperintah Belanda.

Bahkan jika keinginan PPBB dikabulkan, Zentgraaf menilai nama Kota Betawi juga bisa diganti menjadi Jacatra (Jakarta) oleh kaum pecinta bangsa dan Tanah Air itu. Ia tak peduli jika orang Jawa dan Sunda tergila-gila dengan hal tersebut, namun pemerintah tak perlu ikut campur dalam perubahan nama tersebut.

Baca Juga: 300 Arsip Sejarah dan Surat Cinta Bung Karno Ada di Jepang, ANRI: Pelan-pelan Kami Bawa

‎Polemik muncul. Surat-surat kabar berbahasa Melayu dan Sunda, seperti Bintang Timoer dan Sipatahoenan menurunkan sejumlah tulisan kontra Java Bode. Tulisan Bintang Timoer pada 12 November 1932 umpamanya, menyatakan Indonesia merupakan nama yang sudah tepat.

"Indonesia oentoek nama bangsa, nama bahasa dan nama tanah air di sini, soedah kena pada tempatnja," tulis koran yang dipimpin salah satu tokoh pers tempo dulu, Parada Harahap tersebut. Bintang Timor menegaskan, apabila ada yang tidak suka dengan nama tersebut seperti Zentgraaf, hal itu merupakan perkaranya sendiri. "Tetapi orang Indonesia akan teroes ber-Indonesia sadja." Koran tersebut juga berharap setelah nama itu sudah dilekatkan, tinggal perbuatannya yang berubah dari ke-Inlader-an menuju ke-Indonesia-an. 

"Jang sama deradjatnja dengan bangsa lainnja poen djoega di atas doenia," tulis Bintang Timoer. Sikap serupa disampaikan Sipatahoenan, Selasa 6 Juni 1939. Koran tersebut menurunkan tulisan bertajuk, ketjap. Inti tulisan tersebut juga menyoroti sikap Zentgraaf dari Java Bode yang disebutnya murang-maring alias mencak-mencak akibat pidato Jonkman selaku Voorziter (pimpinan) Volksraad yang memakai istilah/nama Indonesia. Zentgraaf menyatakan, nama Indonesia tidak ada dalam arti bangunan negara sepanjang masih ada Belanda. Pun demikian istilah tersebut tak ditemukan dalam konstitusi.

"Di Indie geus tjoegtjeg ngatoer paparentahan sorangan, Pilipina keuer sedeng pakipek tatahar kaloeginaan, Palestina geus boga arep-areupeun. Rojal batur teh koe prakna, ari di oerang...ketjap dipake owel, dipake tjektjok ewor (Di India sedang mulai mengatur pemerintahan sendiri, pun demikian di Filipinan dan Palestina ada harapan yang sama. Sementara di Indonesia, istilah itu saja dipermasalahkan dan menjadi percekcokan)," tulis

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat