kievskiy.org

Pakar UGM Beberkan Dampak Buruk Masuk Sekolah Jam 5 Pagi: Fisik Anak Terkuras, Emosi, hingga Sisi Keamanan

Potret Siswa di Nusa Tenggara Timur masuk sekolah jam 5 pagi waktu setempat.
Potret Siswa di Nusa Tenggara Timur masuk sekolah jam 5 pagi waktu setempat. /ANTARA FOTO/Kornelis Kaha ANTARA FOTO/Kornelis Kaha

PIKIRAN RAKYAT – Pakar Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra menyikapi kebijakan jam masuk sekolah pukul 05.30 WITA yang diberlakukan di Nusa Tenggara Timur. Menurutnya kebijakan itu bakal menimbulkan sederet dampak buruk bagi siswa.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur memberlakukan kebijakan baru mengenai sekolah SMA dan SMK. Beberapa sekolah di daerah tersebut diminta untuk melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) pukul 5.00 WITA dari semula pukul 07.00 WITA.

Novi menerangkan, jam masuk sekolah lebih pagi bisa membuat siswa terburu-buru. Kondisi itu dikhawatirkan membuat anak-anak tidak sempat sarapan atau sarapan tapi kurang berkualitas, sehingga mempengaruhi konsentrasi siswa belajar di sekolah.

Dampak negatif kebijakan sekolah masuk lebih pagi lainnya, kata dia, terjadi pada fisik, emosi, maupun kognisi siswa. Dari sisi fisik, menurut dia, masuk sekolah lebih pagi bakal mempengaruhi kualitas tidur sehingga berpengaruh pada fisik anak. 

Kemudian, penambahan jam sekolah juga akan mengakibatkan kelelahan kronis pada anak. Kondisi ini berpotensi menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih rentan terserang penyakit dan mengurangi fokus belajar anak.

Baca Juga: PGRI Harap Aturan Siswa Masuk Sekolah Jam 5 Pagi di NTT Dikaji Kembali: Anak-anak Butuh Waktu Istirahat Cukup

Adapun dari sisi emosi, tutur dia, kebijakan masuk sekolah pagi akan berpengaruh pada emosi anak karena harus bangun lebih pagi yang tentunya menjadi hal yang tidak mudah. Hal itu pun bisa merembet pada orang tua, yang tersulut emosinya ketika menjumpai anak-anaknya belum siap.

“Akan banyak berpotensi memunculkan problem emosi, yang seharusnya berangkat dengan emosi positif penuh harapan dan motivasi. Namun, justru diawali dengan emosi negatif. Belum lagi kalau terlambat anak akan menerima hukuman, di sini anak-anak juga bisa timbul emosi dan begitu juga gurunya emosi karena capek,” katanya dalam keterangan yang dikutip dari Antara.

Menurut Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan ini, kondisi-kondisi tersebut memunculkan lingkaran emosi negatif. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka panjang, dikhawatirkan dapat menurunkan motivasi belajar siswa dan mengajar guru.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat