kievskiy.org

DPR Kritisi Tingginya Impor Bahan Baku Obat, Pangan, dan Alkes

ILUSTRASI angkutan barang ekspor, impor, peti kemas.*
ILUSTRASI angkutan barang ekspor, impor, peti kemas.* /PIXABAY

PIKIRAN RAKYAT - Anggota Komisi VI DPR, Hj. Nevi Zuairina menyayangkan regulasi pemerintah yang makin memudahkan impor bahan baku obat, pangan, dan alkes. Akibatnya di tengah pandemi Corona jumlah impor bahan-bahan itu tetap tinggi.

"Padahal di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar pada pengembangan komoditas-komoditas tersebut. Saya sangat menyayangkan lebih dari 90% bahan baku obat masih impor. Alat kesehatan 95% impor. Begitu juga komoditas pangan semakin mudah import tanpa rekomendasi," ucap Nevi dalampernyataannya, Rabu 29 April 2020.

Legislator asal  Sumatera Barat ni mengatakan, longgarnya aturan impor bahan baku obat, alkes, dan pangan ini sebagai akibat telah keluarnya Perpres Nomor 58 Tahun 2020, yang mengatur penyederhanaan impor untuk kebutuhan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku. 

Baca Juga: Bantuan Lambat Cair Saat Karantina, Perempuan di Thailand Minum Racun Tikus

"Seharusnya penyederhanaan impor pangan ini untuk menyelamatkan bangsa dari potensi kerawanan pangan. Namun yang terjadi, keluhan muncul dari berbagai pihak bahwa ancaman hancurnya usaha kecil menengah sektor pangan menjadi semakin terbuka," katanya.

Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2020 yang diteken pada 8 April 2020 lalu, lanjut Nevi, memang ditetapkan untuk penataan dan penyederhanaan izin impor barang dan bahan baku untuk pencegahan atau penanganan bencana. "Namun, jika komoditas pangan dan obat seperti jamu ini bila mampu dipenuhi dari dalam, tidak seharusnya dilakukan impor," katanya. 

Politisi PKS ini meminta kepada seluruh asosiasi, yang bermitra dengan komisi VI, agar terus menjalin komunikasi agar saling dapat memberi masukan. "Berbagai potensi pengembangan obat tradisional untuk melawan Covid-19 dapat terus dilakukan. Semua perlu penelitian dan uji termasuk produksi air rebusan daun sirih yang diduga dapat menjadi obat herbal alternatif melawan Covid-19," katanya.

Baca Juga: Kartu Prakerja Tak Urgen, Ekonom Unpad Menilai BLT Bantuan Modal Lebih Efektif

Obat tradisonal atau Jamu Indonesia  lebih diterima karena banyak sumber daya alam, sehingga tinggal regulasi pemerintah yang berpihak pada produk dalam negeri. "Jamu tidak boleh kalah dengan produk yang mirip asal Tiongkok. Jamu dapat dipastikan Halal," katanya.

 Khusus regulasi pemerintah,  Komisi VI akan terus meminta pemerintah untuk melakukan perbaikan regulasinya. "Semoga jamu Indonesia semakin berkualitas dan ke depannya menjadi tuan rumah di negerinya," kata Nevi. ***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat