kievskiy.org

Perjalanan Mahmoud Darwis sebagai Penyair Palestina: dari Pengusiran hingga Kehilangan Tanah Airnya

Penyair Palestina, Mahmoud Darwish.
Penyair Palestina, Mahmoud Darwish. /Instagram/@fanpagemahmoud_darwish41

PIKIRAN RAKYAT - Kehidupan awal penyair tersohor Palestina, Mahmoud Darwish ditandai oleh trauma perang ketika desanya jatuh ke tangan pasukan Israel selama konflik Arab-Israel pada 1948. Mengalami pengusiran dari tanah airnya, keluarganya terpaksa melarikan diri ke Lebanon, membawa serta beban kehilangan dan kerinduan yang mendalam.

Meskipun kembali ke daerahnya setahun kemudian, kehilangan dan pengalaman perpindahan mengakar dalam karya-karya Darwish, mencerminkan ketahanan dan kegigihan rakyat Palestina di tengah penderitaan.

Penyair yang lahir pada 13 Maret 1941 di Al Birwa, Palestina ini memiliki segudang pegalaman yang pahit dalam menangkap penderitaan bangsanya melawan Israel.

Sebagai seorang pemuda yang membara dengan semangat kebebasan dan ekspresi, Darwish menerbitkan karya pertamanya, ‘Asafir bila ajniha’ atau Burung-Burung Tanpa Sayap, yang menjadi landasan bagi perjalanan puitisnya yang menginspirasi.

Baca Juga: Warisan Puitis: 5 Penyair Palestina yang Mengabadikan Perjuangan Bangsanya

Melalui pemilihan kata-kata yang kuat dan gambaran yang mempesona, ia mengeksplorasi tema-tema identitas, pengasingan, dan cinta, serta menyampaikan pesan universal tentang rindu akan kedamaian dan keadilan.

Namun, perjalanan hidup Darwish tidak hanya diwarnai oleh keberhasilan dan pencapaian. Ia juga mengalami penderitaan pribadi, baik dari masalah kesehatan, seperti serangan jantung yang mengancam nyawanya, maupun dalam hubungan cintanya yang rumit dan berliku. Kisahnya dengan "Rita," yang tercermin dalam puisi-puisinya, melambangkan ironi dan konflik yang melingkupi konflik yang berkepanjangan di Palestina.

Membawa Pesan Perjuangan Rakyat Palestina

Pada usia tujuh belas tahun, Darwish sudah mengekspresikan pemikirannya tentang penderitaan pengungsi Palestina dan keputusasaan akan kembali ke tanah air mereka melalui puisi-puisinya. Bakat puitisnya semakin terpancar ketika ia mulai tampil di berbagai festival sastra, membawa pesan perjuangan rakyat Palestina ke panggung dunia.

Pada 1 Mei 1965, saat masih muda, Darwish meluncurkan puisi terkenalnya, Bitaqat huwiyya atau Kartu Identitas, di hadapan sekelompok pendengar di sebuah bioskop di Nazareth.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat