kievskiy.org

Kampung Adat Ciptagelar Lestari Lewati 10 Generasi, Abah Ugi Berpesan Soal Alergi Teknologi

Deretan leuit atau lumbung padi di kampung adat kasepuhan Ciptagelar, Desa Sir­na­resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jumat 14 Januari 2022. Menanam dan me­nyim­pan padi menjadi tradisi yang paling menonjol di Ciptagelar, bahkan padi yang tersedia saat ini mampu mencukupi kebutuhan mereka hingga enam tahun.
Deretan leuit atau lumbung padi di kampung adat kasepuhan Ciptagelar, Desa Sir­na­resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jumat 14 Januari 2022. Menanam dan me­nyim­pan padi menjadi tradisi yang paling menonjol di Ciptagelar, bahkan padi yang tersedia saat ini mampu mencukupi kebutuhan mereka hingga enam tahun. /Pikiran Rakyat/Herlan Heryadie

PIKIRAN RAKYAT - Suasana khas Sunda kental terasa begitu memasuki Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar. Di sana berjajar puluh­an rumah panggung berdinding kayu dan beratapkan rumbia atau kirai.
 
Bangunan kecil bernama leuit atau tempat menyimpan padi dibangun saling berdampingan. Di sekeliling kawasan kampung adat adalah gunung, hutan, kebun dan sawah berundak.
 
Sehari-hari, kaum pria memakai pangsi de­ngan kepala terbungkus iket. Sementara kaum wanita mengenakan kebaya. Mayoritas masyarakat penghuni kampung adat adalah petani.
 
Kasepuhan Ciptagelar berada di kaki Gunung Halimun-Sa­lak dan masuk ke wilayah administrasi Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
 
Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, sesepuh Kasepuhan Ciptagelar.
Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, sesepuh Kasepuhan Ciptagelar.
 
 
 
Dari pusat kota Palabuhanratu, lokasi itu bisa dijangkau dalam waktu sekira dua jam. Setidaknya Kasepuhan Ciptagelar masih berada di lokasi itu sebelum turun wangsit guna menjadikan Kampung Gede sebagai pu­sat kasepuhan kembali pindah ke tempat baru untuk bermu­kim.
 
Generasi pertama tahun 1368 berasal dari Cipatat, Bogor. Sejak saat itu, ketua adat berganti secara turun-temurun dan kampung adat terus berpindah tempat.
 
Dari Cipatat Bogor beralih ke Lebak Larang, Lebak Binong, Tegal Lumbu, Pasir Jinjing, Bojong Cisono, hingga Sirna Rasa.
 
Terakhir, pada pertengahan 2001, dari di Kampung Ciptarasa di Desa Sirna­rasa, berpindah ke Desa Sirnaresmi yang berjarak sekira 12 kilometer.
 
Perpindahan itu mau tak mau harus dilakukan karena ber­bagai pertimbangan. Di Desa Sirnaresmi, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom selaku ketua adat menamai Desa Ciptagelar sebagai tempat pindah baru.
 
Mendiang Abah Anom adalah ayah dari pemimpin kampung adat Ka­sepuhan Ciptagelar saat ini, yakni Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.
 
10 gene­rasi
 
Abah Ugi adalah generasi ke-10, keturunan dari pe­mim­pin sebelumnya, Abah Encun Sucipta atau lebih di­kenal Abah Anom yang wafat pada 2007.
 
Dari gene­rasi pertama hingga saat ini turun ke Abah Ugi, tradisi yang paling menonjol adalah nilai-nilai budaya menanam dan menyimpan padi.
 
Bahkan tradisi itu pun te­lah diturunkan ke generasi berikutnya. Mulai dari me­mi­lah benih, penanaman, panen sampai menyimpan padi, semuanya dilakukan secara tradisional.
 
 
Padi ditanam hanya setahun sekali. Pasokan yang ada saat ini bisa untuk lima sampai enam tahun mendatang.
 
”Kita menanam padi itu cukup setahun sekali saja, terus hasilnya disimpan di lumbung padi untuk bekal kehidupan sehari-hari. Tidak boleh dijualbelikan. Dari zaman dulu sampai sekarang tetap kebiasaan itu diturun­kan terus-terusan,” ujar Abah Ugi, Jumat 14 Januari 2022 saat ditemui di Imah Gede.
 
Abah Ugi menuturkan, saat ini sudah ada sekira 168 varietas padi yang disebar kepada warga Ciptagelar.
 
Bi­bitnya berbeda dari yang umum beredar di Indonseia, diperlakukan secara alami dan tradisional tanpa bahan kimia buatan. Gabah disimpan di lumbung dan ada yang bisa bertahan 20-50 tahun.
 
”Kuncinya ada di bibit. Padi pada umumnya itu 2-3 bulan sudah bisa panen, kalau di sini yang ditanam itu masih menunggu sampai 7 bulan baru bisa dipanen,” katanya.
 
Abah Ugi memaparkan, se­jak tahun 1368, masya­ra­kat adat yang tersebar di Sukabumi, Bogor, dan Banten kurang lebih 30.000 jiwa. Kasepuhan Ciptagelar tetap menjadi pusat dari se­kira 568 kampung adat yang tersebar di tiga wilayah tersebut.
 
”Masyarakat adat tidak dibatasi oleh batas pemerintahan. Dari zaman dulu sampai sekarang, mau di mana pun sama kalau kampung adat,” kata Abah Ugi.
 
Moderni­sasi
 
Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar pada masa Abah Ugi terbilang hidup di te­ngah derasnya perkembang­an mo­dernisasi dan teknologi informasi.
 
Di satu sisi, Abah Ugi dan masyarakat kampung adat tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang diturunkan lelu­hur.
 
Di sisi lain, Abah Ugi tak alergi dengan perkembangan teknologi masa kini. Menurut dia, hal yang terpenting adalah bagaimana memilih dan memilah tek­no­logi, yang membawa manfaat, dan yang sama sekali dilarang.
 
”Yang penting kita ka­sih tahu bahwa plus-minusnya dampak teknologi itu seperti ini. Banyak mengobrol dengan anak-anak kita untuk masalah teknologi modern. Untuk teknologi modern, kalau ada yang sama sekali tidak boleh digunakan oleh kami, kami sebisa mungkin meng­hindari itu semua,” kata Abah Ugi.
 
Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar sudah memiliki pasokan listrik sendiri yang bersumber dari pembangkit listrik mikrohidro yang terbarukan dan ramah ling­kung­an. Ada juga sinyal internet yang disediakan salah satu provider. Bahkan ada fasilitas WiFi berbayar.
 
Sampai saat ini, jaringan internet dikelola sendiri oleh Kasepuhan Ciptagelar, bisa dinikmati warga di enam desa di seputaran Ciptagelar.
 
Ada tim yang mengelola akun media sosial Facebook dan Instagram Ka­sepuhan Ciptagelar. Ada pula kanal YouTube milik Ka­sepuhan Ciptagelar bernama Ciga TV serta stasiun radio bernama Radio Swara Ciptagelar (RSC) 107.7 FM.
 
”Mulai 2009, ada faktor kebetulan, ada yang lewat dari suatu operator di Indonesia, kami ngomong ingin ada ja­ringan. Dari situ dibangun dan sampai sekarang berja­lan,” katanya.
 
Selain berpegang pada hu­kum adat, Abah Ugi maupun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berpegang pada hukum agama dan hukum negara atau undang-undang. Untuk hukum adat, warga Ciptagelar harus menjaga alam.
 
”Jika misalnya warga me­rusak alamnya, kita mungkin di sini akan terkena dampak­nya. Kalah di hukum negara, undang-undang pemerintah­an kalau kena sanksi itu dihu­kum. kalau hukum adat hukumnya terasa oleh diri­nya sendiri, istilah zaman dulu­nya itu namanya kabendon, kualat karena melanggar suatu aturan adat. Jadi dikembalikan pada diri kita masing-masing,” ujarnya.
 
Abah Ugi juga menyebut peribahasa yang populer di kampung adat, bunyinya ”Gen­teng ku kadekna, legok ku tapakna, cilaka ku amal perbuatanna”.
 
Kurang lebih maknanya adalah segala macam perbuatan dikembalikan pada diri sendiri.
 
”Bergantung kesadaran warga di sini dan dari zaman dulu sampai sekarang itu yang dipertahankan,” tuturnya.
 
Hukum adat pula yang menjaga Kasepuhan Ciptagelar tak terdampak oleh Co­vid-19. Tak ada warga kampung adat yang terjangkit virus tersebut.
 
”Terus terang karena kita ada di pegunung­an, kami tidak berbaur ke kota, kami membatasi untuk kunjungan saja. Sehingga kami terhindar dari Covid-19. Itu Covid-19 pertama, kami ikut juga prokes dan sebagainya, termasuk vaksin, kami juga ikut,” kata Abah Ugi se­raya bersyukur hingga saat ini saat ini tidak pernah terdengar ada masalah Covid-19 di Ciptagelar.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat