PIKIRAN RAKYAT - Koalisi partai politik (parpol) yang dewasa ini membentuk sekretariat bersama (sekber) mulai bermunculan. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)-Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah mantap membentuk sekber pemenangan pemilihan umum (pemilu).
Tak ketinggalan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun digadang-gadang merangkul Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Demokrat sepertinya merangkul Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Jika diamati, dari sekian sekber koalisi partai tersebut preferensinya ialah berbasis nasionalis dan Islam. Tipikal koalisi semacam ini sebenarnya bukan barang baru dalam peta politik di Indonesia. Dalam sejarahnya memang sangat ampuh untuk suksesi.
Tampaknya partai berbasis nasionalis dan Islam akan kembali menjadi perhatian serius dalam peta politik Indonesia. Siklus itu akan terus terulang. Karena jika kita mau setback ke belakang, Islam dan nasionalisme di Indonesia, sejak mulanya memang sudah akur.
Baca Juga: Buntut Perawat Gunting Jari Kelingking Bayi di Palembang, Hotman Paris Siap Turun Tangan
Dari sejarah, misalnya, awal berdirinya bangsa Indonesia, Soekarno dekat dengan KH Hasyim Asy’ari. Kedekatan Sang Kiai dengan tokoh-tokoh nasionalis seperti Bung Karno untuk menyokong kemerdekaan, misalnya, sampai-sampai salah satu jargon yang diambil dari pepatah Arab sering dijadikan legitimasi untuk membantu mengungkit sentimen nasionalisme masyarakat Indonesia, hubb al-wathan min al-iman (nasionalisme merupakan bagian dari iman), di mana KH Hasyim Asy’ari sendiri memelopori fikih kebangsaan.
Mengakurkan
Mengakurkan ideologi Islam dan nasionalis saat ini sangat penting, apalagi ketika problem-problem sosial, politik, dan ekonomi mencuat ke permukaan, di mana terkadang melunturkan rasa kecintaan itu. Dalam bidang ekonomi, misalnya, era globalisasi pasar (free market) sudah nyata-nyata melunturkan kebudayaan dan identitas bangsa.
Selain itu, persoalan sosial-politik secara bertubi-tubi menghantam serta menggerogoti nasionalisme keindonesiaan itu. Dewasa ini, misalnya, sebagian kecil kaum Muslim dengan komunitasnya atau organisasinya sering mengaspirasikan supaya ditegakkannya peraturan-peraturan daerah (perda) syariat yang bertentangan dengan Konstitusi kebangsaan Indonesia.
Baca Juga: Kehidupan Berdemokrasi Tak Banyak Terpengaruh jika Kualitas Calon Tidak Memadai
Dalam ranah itu, kesannya seakan-akan ada pertentangan antara Indonesia sebagai negara-bangsa dan Islam di sisi lain. Padahal, jelas sudah, semenjak para founding father bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, perdebatan antara negara dan agama itu sudah final dan tutup buku. Justru yang harus dijaga, dalam kerangka bahwa mencintai tanah air merupakan bagian dari iman. Sebagai warga negara, kita harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kata Huub de Jonge, sebuah bangsa terlahir karena adanya perbedaan-perbedaan.