kievskiy.org

Ramai-Ramai Bikin Sekber, Koalisi Partai Berbasis Nasionalis dan Islam akan Kembali Jadi Perhatian

Ilustrasi Pemilu.
Ilustrasi Pemilu. /Antara/Andreas Fitri Atmoko

PIKIRAN RAKYAT - Koalisi partai po­litik (parpol) yang dewasa ini membentuk sekretariat bersama (sekber) mulai bermunculan. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)-Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) te­lah mantap membentuk sekber pemenangan pemilihan umum (pemilu).  

Tak ketinggalan Partai Demo­krasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun digadang-gadang me­rang­kul Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Demokrat sepertinya merangkul Partai Ke­adilan Sejahtera (PKS).

Jika diamati, dari sekian sekber koalisi partai tersebut preferensinya ialah berbasis nasionalis dan Islam. Tipikal koalisi semacam ini sebenarnya bukan barang baru dalam peta politik di Indonesia. Dalam sejarahnya memang sangat ampuh untuk suksesi.

Tampaknya partai berbasis nasionalis dan Islam akan kembali menjadi perhatian serius dalam peta politik Indonesia. Siklus itu akan terus terulang. Karena jika kita mau setback ke belakang, Islam dan nasionalisme di Indonesia, sejak mulanya memang sudah akur. 

Baca Juga: Buntut Perawat Gunting Jari Kelingking Bayi di Palembang, Hotman Paris Siap Turun Tangan

Dari sejarah, misalnya, awal berdirinya bangsa Indonesia, Soekarno dekat dengan KH Hasyim Asy’ari. Kedekatan Sang Kiai dengan tokoh-tokoh nasionalis se­perti Bung Karno untuk menyokong kemerdekaan, misalnya, sampai-sampai sa­lah satu jargon yang diambil dari pepatah Arab sering dijadikan legitimasi untuk membantu mengungkit sentimen nasionalisme masya­rakat Indonesia, hubb al-wathan min al-iman (nasionalisme merupakan ba­gian dari iman), di mana KH Hasyim Asy’ari sendiri mem­elopori fikih kebang­saan. 

Mengakurkan

Mengakurkan ideologi Islam dan nasionalis saat ini sangat penting, apalagi ketika problem-problem sosial, politik, dan ekonomi mencuat ke permukaan, di mana terkadang melunturkan rasa kecintaan itu. Dalam bidang ekonomi, misalnya, era glo­ba­lisasi pasar (free market) sudah nyata-nyata melunturkan kebudayaan dan identitas bangsa. 

Selain itu, persoalan so­sial-politik secara bertubi-tubi menghantam serta meng­gerogoti nasionalisme keindonesiaan itu. Dewasa ini, misalnya, sebagian kecil kaum Muslim dengan komunitasnya atau organisasinya sering mengaspirasikan supaya ditegakkannya peratur­an-peraturan daerah (perda) syariat yang bertentangan dengan Konstitusi kebangsaan Indonesia. 

Baca Juga: Kehidupan Berdemokrasi Tak Banyak Terpengaruh jika Kualitas Calon Tidak Memadai

Dalam ranah itu, kesannya seakan-akan ada pertentang­an antara Indonesia sebagai negara-bangsa dan Islam di sisi lain. Padahal, jelas sudah, semenjak para founding father bangsa ini mendekla­rasikan kemer­de­ka­an Indonesia, perdebatan antara negara dan agama itu sudah final dan tutup buku. Justru yang harus dijaga, dalam kerangka bahwa mencintai tanah air merupakan bagian dari iman. Sebagai warga negara, kita ha­rus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kata Huub de Jonge, sebuah bangsa terlahir karena ada­nya perbedaan-perbedaan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat