kievskiy.org

Dibukanya Kembali Keran Impor Beras Jadi Kegagalan Bulog, Butuh Revitalisasi Segera

Ilustrasi stok beras Bulog.
Ilustrasi stok beras Bulog. /Antara/Reno Esnir

PIKIRAN RAKYAT – Perum Bulog dalam beberapa waktu belakangan ini sering menjadi sorotan. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengurus segala permasalahan soal beras ini, dianggap gagal dalam memerankan diri sebagai operator pangan, terutama dalam semangatnya untuk mengokohkan cadangan beras Pemerintah.

Kegagalan seperti inilah yang membuat Indonesia menanggung malu di mata internasional. Kisah sukses selama 3 tahun berturut-turut (2019-2021) tidak impor beras yang sifatnya komersial, akhirnya demi menguatkan cadangan beras Pemerintah yang dilaporkan menipis, membuat kran impor harus dibuka kembali.

Anehnya, Indonesia menempuh impor beras, disaat Pemerintah mengklaim produksi padi melimpah ruah. 

Sebetulnya, banyak faktor yang membuat kegagalan Perum Bulog dalam memperkuat cadangan beras Pemerintah. Selain sampai sekarang kita belum memiliki perencanaan pangan yang berkualitas, ternyata Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah pun belum dirumuskan dengan serius.

Baca Juga: Tindak Lanjuti Arahan Presiden, Bulog Mulai Salurkan Bantuan Pangan Beras di Papua

Perum Bulog terekam belum mampu melahirkan terobosan cerdas dalam mempercepat penyerapan gabah atau beras hasil panen para petani. Yang menarik jadi bahan pencermatan bersama adalah apakah hal yang demikian, disebabkan oleh status Perum Bulog sebagai BUMN, sehingga cukup kesulitan untuk mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai operator pangan?.

Atau ada kendala lain yang hingga kini masih belum mampu dibuka secara terang benderang kepada publik? Kedua peran yang diemban Perum Bulog, pertama selaku BUMN harus untung dan tidak boleh rugi, dan kedua harus menjalankan ‘social responsibility’ bagi masyarakat, jelas menjadikan Perum Bulog seperti menjalankan kiprah yang saling berbenturan.

Dihadapkan pada suasana yang seperti ini, sudah seharusnya Perum Bulog melakukan revitalisasi tugas dan fungsi agar tampil menjadi operator pangan yang handal dan mampu memberi solusi atas soal pangan yang kita hadapi selama ini. Perum Bulog perlu diberi ‘darah baru’ (giving a new life) dalam menggerakkan organisasi di lapangan.

Dengan demikian, kesan Perum Bulog yang ‘kalah bersaing’ dengan para pedagang atau pengusaha penggilingan dalam menyerap gabah dan beras hasil petani, tentu akan sirna dengan sendirinya. Pokok masalahnya adalah darah baru seperti apa yang paling cocok untuk disuntikan kepada Perum Bulog itu sendiri?.

Baca Juga: Bulog Bakal Salurkan Bansos Beras pada Maret 2023: Sistemnya Langsung 'Door to Door'

Langkah ini patut digarap. Kementerian BUMN, Badan Pangan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian/Lembaga terkait lain, perlu duduk bersama untuk memberi resep baru bagi Perum Bulog dalam menjalankan kiprah ke depan.

Di sisi lain, dalam panen raya padi, jarang sekali para petani mampu menjual hasil panennya dalam bentuk beras. Para petani, khususnya petani berlahan sempit cenderung akan menjualnya dalam bentuk gabah.

Bahkan ada juga para petani yang saat panen berlangsung hanya mendapatkan setumpukan jerami, mengingat gabahnya sudah digadaikan kepada para bandar atau tengkulak.

Soal gadai-menggadai atau menjual dengan sistem tebasan, bukan lagi hal aneh dalam dunia kehidupan petani padi berlahan sempit. Atas situasi seperti ini, Perum Bulog mestinya tampil sebagai sahabat petani dalam membeli hasil panen petani.

Baca Juga: Perum Bulog Pastikan Distribusi Beras Tak Terganggu Kebijakan Fleksibilitas Harga

Dengan kewenangan yang dimiliki Pemerintah dapat menjadikan Perum Bulog sebagai operator pangan yang dapat membeli gabah petani dengan harga wajar dan menjadi solusi atas kiprah para tengkulak yang gandrung memainkan harga di saat panen berlangsung. Jika hal semacam ini terwujud, maka Perum Bulog dapat menjadi ‘dewa penolong’ bagi kehidupan petani.

Untuk tahun 2023 ini, Pemerintah telah memutuskan untuk melakukan impor beras sebesar 2 juta ton. Lalu, muncul pertanyaan, mengapa harus impor, padahal produksi padi para petani di dalam negeri cukup meningkat secara signifikan.

Produksi padi berlimpah dan beberapa kali Presiden Joko Widodo hadir secara langsung mengikuti pelaksanaan panen raya di beberapa daerah sentra produksi padi. Apakah impor dilakukan karena ada ketidakyakinan terhadap data perberasan yang ada ? Atau karena ada kekhawatiran Pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat yang terus meningkat sebagai gagalnya program diversifikasi pangan yang dilakukan selama ini?.

Belum lagi adanya kemauan politik Pemerintah yang ingin memberi bantuan sosial beras lebaran kepada masyarakat miskin dengan jumlah beras yang cukup besar? Gambaran ini mengisyaratkan merumuskan kebutuhan beras hanya dengan membandingkan aspek produksi dengan konsumsi, sepertinya sudah kurang cocok lagi. Namun, soal politik perberasan pun wajib dijadikan acuan dalam merencanakan kebutuhan itu sendiri, seperti adanya bantuan beras Lebaran.

Kalau memang Pemerintah ingin melindungi petani dari anjloknya harga gabah di saat panen raya, maka Perum Bulog harus siap turun langsung ke petani. Perum Bulog tidak boleh cuma duduk manis di belakang meja.

Namun, akan lebih keren, bila Perum Bulog membangun jaringan kelembagaan khusus dengan stakeholders perberasan untuk menyerap setinggi-tinggi nya dari hasil produksi para petani.

Ini berarti, pengalaman puluhan tahun silam dimana kemitraan Perum Bulog dengan Universitas perlu dihangatkan kembali. Salah satunya, perlu direncanakan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Penyerapan Gabah Petani. (Entang Sastraatmadja – Penulis, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)***

Disclaimer: Kolom merupakan bentuk komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Artikel ini bukan produk jurnalistik, tetapi murni merupakan opini kolumnis.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat